Daftar Blog Saya

18.4.12

PROBLEMATIKA PERKEMBANGAN ILMU KLONING DI TINJAU DARI SISI AKSIOLOGI


A. PENDAHULUAN
Ilmu telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Indikasi untuk itu adalah munculnya ilmu-ilmu yang baru, semakin bertambahnya cabang-cabang dari ilmu tertentu yang telah ada, serta ditemukannya teori-teori ilmiah dalam berbagai bidang. Berkembangnya ilmu membawa keuntungan dan kemudahan bagi kehidupan manusia yaitu banyaknya persoalan yang dapat terpecahkan dan banyaknya pekerjaan yang dapat diselesaikan secara efektif dan efisien. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu beserta penerapannya, yaitu teknologi, merupakan unsur kebudayaan yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia.
Berkembangnya ilmu yang demikian pesat tidak selalu mendatangkan keuntungan bagi umat manusia. Sejarah telah mencacat tragedi kemanusiaan yang luar biasa dasyat diantaranya dijatuhkannya bom atom di Hirozima dan Nagasaki dalam perang dunia II, kebocoran reaktor nuklir di Chernobyl, dan penggunaan bom biologis dalam peperangan di beberapa tempat.
Selain sisi negatif berupa tragedi seperti disebutkan di atas, masih ada sisi negatif lainnya menyangkut perkembangan ilmu, diantaranya dalam bidang bioteknologi, yaitu adanya kontroversi berkenaan dengan teknologi kloning. Kloning merupakan teknik penggandaan gen yang menghasilkan turunan yang sama sifat baik dari segi hereditas maupun penampakannya (Wikipedia, 2011). Kloning menjadi sorotan publik tahun 1997 ketika teknologi ini berhasil diterapkan untuk pertama kali pada hewan tingkat tinggi oleh tim peneliti dari Institut Roslin di Skotlandia pimpinan Ian Wilmut (Witarto.wordpress.com, 2011).

Kontroversi kloning semakin hebat ketika teknologi ini diterapkan untuk manusia. Dengan memperhatikan sisi positif dan sisi negatifnya, ada desakan agar para agamawan, ahli politik, ahli hukum dan pakar kemasyarakatan segera merumuskan aturan mengenai pemakaian teknologi kloning. Desakan tersebut antara lain didasarkan pandangan bahwa kloning merupakan “intervensi penciptaan” yang dilakukan manusia terhadap “tugas penciptaan” yang dilakukan oleh Sang Pencipta.
Selain masalah etis yang menjadi keprihatinan utama, para ilmuwan yang sudah melakukan kloning binatang juga mengingatkan bahwa banyak masalah yang muncul pada hasil kloning misalnya pada sapi. Mereka menganggap bahwa kloning manusia merupakan tindakan yang gegabah jika masalah kloning binatang saja belum bisa di atasi. Terlebih lagi jika teknologi tersebut ditangani oleh ilmuwan yang tidak bertanggung jawab.
Penolakan terhadap kloning pada manusia juga terjadi dinegara yang sangat maju seperti Amerika Serikat. Meskipun banyak mendapatkan tantangan, mereka yang prokloning yakin bahwa kontroversi kloning akan berakhir sama dengan kontroversi bayi IVF 20 tahun silam. Sebelum Louise Brown, bayi hasil teknologi IVT 25 tahun silam, dilahirkan, 85 persen masyarakat Amerika Serikat menentang teknologi bayi tabung, namun kini, menurut mereka yang prokloning, masyarakat di negara tersebut tidak lagi menentangnya.



B. PEMBAHASAN
2.1 Context of Discovery dan Context of Justification
Polemik di atas menunjukkan bahwa ilmu tidak terlepas dengan sistem nilai. Kaitan ilmu dan sistem nilai telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir (Jujun Suriasumantri, 1996 : 2). Pertanyaan umum yang sering muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah ilmu itu bebas dari sistem nilai ? Ataukah sebaliknya, ilmu itu terikat pada sistem nilai ?
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para ilmuwan apa lagi dari masyarakat luas. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama, kelompok yang memiliki kecenderungan puritan-elitis, menghendaki ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Mereka berusaha agar ilmu dikembangkan demi ilmu. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua, kelompok yang memiliki kecenderungan pragmatis, beranggapan bahwa ilmu dikembangkan demi mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan dalam alam semesta ini. Mereka juga berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral (Jujun S., 2005 : 235).
Adanya perbedaan pandangan tersebut dapat dipahami dari konteks perkembangan ilmu. Ada dua konteks berkenaan dengan hal tersebut, yaitu context of discovery dan context of justification. Kedua konteks ini merupakan jawaban sekaligus jalan keluar terhadap polemik di atas.
2.1.1 Context of Discovery
Yang dimaksud dengan context of discovery adalah konteks di mana ilmu dikembangkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang, waktu, dan situasi tertentu. Ilmu tidak muncul secara tiba-tiba, ada konteks tertentu yang melatar belakangi muncul dan berkembangnya ilmu. Tidak bisa disangkal bahwa ilmuwan dalam melakukan kegiatan ilmiahnya termotivasi oleh keinginan tertentu, baik yang bersifat personal maupun kolektif, baik untuk penelitian ilmiah murni maupun untuk memecahkan masalah yang ada dalam kehidupan. Berkenaan dengan motivasi yang disebutkan terakhir, Rinjin (1997: 10) menyatakan bahwa necessity is the mother of science, bahwa kebutuhan bisa menjadi ibunya penemuan.
Berdasarkan tinjauan context of discovery dapat dipahami bahwa ilmu tidak bebas nilai. Bahwa ilmu muncul dan berkembang karena desakan dari nilai-nilai tertentu.
2.1.2 Context of justification
Context of justification adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan kegiatan ilmiah. Ada paradigma yang menyatakan bahwa ilmu merupakan kesatuan dari proses, prosedur, dan produk. Sebagai suatu produk, ilmu merupakan pengetahuan sistematis yang diperoleh dari aktivitas yang didasarkan pada prosedur-prosedur tertentu. Dalam hal inilah kebenaran ilmiah merupakan satu-satunya nilai yang harus dijadikan acuan. Nilai-nilai lain, diluar nilai kebenaran ilmiah harus dikesampingkan.
2.2. Ilmu dalam Perspektif Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Polemik yang terjadi berkenaan dengan teknologi kloning dapat disikapi secara kritis berdasarkan context of justification dan context of discovery. Dari sisi context of justification, kebenaran teknologi kloning tidak bisa dibantah, dalam arti temuan tersebut diperoleh melalui prosedur dan pengujian yang telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Dari sisi context of discovery, harus dipertanyakan apakah hasil dari teknologi kloning tersebut berguna? Jika ternyata tidak berguna bagi kehidupan manusia, bahkan ternyata merendahkan martabat manusia, teknologi tersebut harus ditolak dan usaha tersebut harus dihentikan. Ditolaknya hasil teknologi tersebut bukan karena tidak benar, tetapi karena tidak memiliki manfaat bagi kehidupan manusia.
Apa yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa etika keilmuan tidak hanya menyangkut proses ditemukannya kebenaran ilmiah saja tetapi lebih luas dari itu. Bahwa etika keilmuan, menurut Suriasumantri hendaknya dikaji secara cermat dengan mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Suriasumantri (1996 : 15 – 16) mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut.
1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.
3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi an sich.
5. Secara aksiologis ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan / kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
D. PENUTUP
Ilmu tidak terlepas dari sistem nilai. Kebenaran ilmiah yang berusaha ditemukan melalui kegiatan keilmuan merupakan nilai. Nilai kebenaran ilmiah juga dijadikan acuan dalam kegiatan tersebut. Keterkaitan ilmu dengan sistem nilai tidak cukup bila hanya dibahas dari tinjauan epistemologis semata. Tinjauan ontologis dan aksiologis juga diperlukan karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menggunakan kebenaran ilmiah tersebut bagi kehidupan manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri. (1996) Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. Jakarta : Gramedia.
Jujun S. Suriasumantri. (2005) Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan.
Rinjin, Ketut. (1997) Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. Bandung : CV Kayumas.
Wikipedia. (2011) ”Kloning.” Tersesedia pada http://ed.wikipedia.org/wiki/kloning. Diakses pada tanggal 3 Agustus 2011.
Witarto, Arief B. (2011 ”Kloning Anak Manusia dan Bisnis” Tersedia pada http://www.witarto.wordpress.com. P2.5-12-11



Tidak ada komentar: