ILMU DAN MORAL
1. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki dalam kehidupan manusia. Manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan menggunakannya untuk kehidupan pribadi dan lingkungannya. Hal ini menjadi ciri manusia, karena manusia senantiasa bereksistensi.
Pengetahuan merupakan teorisasi dari sejumlah ilmu pengetahuan yang diperoleh dan dimiliki manusia melalui sejumlah penelitian dan pembuktian. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan menuntut suatu tindakan yang ilmiah terhadap suatu kebenaran. Untuk melakukan usaha pembuktian tersebut manusia harus mempunyai intellectual activity, yaitu suatu kegiatan pencarian dan pengembangan ilmu (Susanto,2010:183).
Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi. Namun dalam kenyataannya apakah ilmu selalu merupakan berkah, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesegsaraan? (Suriasumantri, 2007: 229).
Filsafat ilmu merupakan telaahan yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu yaitu objek apa yang ditelaah oleh ilmu (ontologi)? Bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistemologis)? Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan (aksiologi)? Makalah ini akan membahas kaitan antara ilmu dan moral yang termasuk ke dalam pengkajian aksiologi.
2. Pembahasan
2.1 Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai (Susanto, 2010:116). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut pandang kefilsaftan. Aksiologi juga menerapkan ilmu ke dalam praktis.
Aksiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu yang berkaitan dengan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan anatara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaahnya berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/ professional? (Suriasumantri, 2007:35).
Aksiologi memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai agama dan nilai keindahan (estetika). Dilihat dari jenisnya paling tidak terdapat dua bagian umum dari aksiologi dalam membangun filsafat ilmu, yaitu meliputi etika dan estetika.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruknya.
Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki manusia terhadap lingungan dan fenomena disekelilingnya. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas.
2.2 Tahap Pertumbuhan Ilmu
Jujun Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu menyatakan tahap-tahap pertumbuhan ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk mengkaji alam, tetapi juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Perkembangan ilmu sering melupakan faktor manusia, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sekarang justru manusialah yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi (2007:229).
Ilmu bahkan sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan sendiri. Menghadapi kenyataan seperti ini. Ilmu pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya; untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuwan? Ke arah mana perkembangan keilmuwan harus diarahkan? Untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral.
Sejak pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) menyatakan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbulah interaksi antara ilmu dan moral (bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik.
Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuwan diantaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran tersebut yang berkulminasi pada pengadilan Galileo pada tahun 1963. Pengadilan agama memaksa Galileo mencabut pernyataannnya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Dalam kurun waktu ini ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam (ilmu yang bebas nilai). Pada akhirnya, perjuangan itu membuahkan hasil para ilmuwan mendapatkan kemenangan, dan ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.
Ilmu terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik maka dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif dilanjutkan dengan penerapan ke dalam konsep-konsep ilmiah kepada masalah-masalah praktis. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak berubah menjadi konsep konkret yang berupa teknologi. Ilmu tidak saja menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi bertujuan untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut, yaitu mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi.
Tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul dalam kaitan dengan faktor lain. Secara filsafati dapat dikatakan dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuwan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuwan.
2.3 Ilmu dan Moral
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Jika hasil penemuan perseorangan tersebut memenuhi syarat-syarat keilmuan maka ia akan diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan dapat digunakan dalam masyarakat.
Istilah moral berasal dari bahasa latin, mos (jamaknya mores), yang berarti adab atau cara hidup. Etika dan moral sama maknanya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Menurut Sudarsono (2001) dalam, istilah etika, moral dan akhlak sama. Dalam akhlak terdapat beberapa nilai luhur yang bersifat universal, yaitu kejujuran,kebaikan, kebenaran, rasa malu, kesucian diri, kasih sayang, hemat, dan sederhana. Jadi dapat disimpulkan bahwa moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Moral dapat juga dibedakan menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:
1. Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia, sebagai suatu pengejawantahan dari pancaran ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.
2. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran filosofis, agama, adat yang menguasai pemutaran manusia.
Norma- norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilai. Itulah sebabnya penilaian moral selalu berbobot. Kita tidak dilihat dari salahsatu segi, melainkan sebagai manusia. Apakah seseorang adalah warga yang baik, warga Negara yang selalu taat dan selalu bicara sopan belum mencukupi untuk menentukan apakah dia itu betul-betul seorang manusia yang baik. Barangkali ia seorang munafik. Atau ia mencari keuntungan. Apakah kita ini baik atau buruk, itulah yang menjadi permasalahan bidang moral.
2.4 Sikap Ilmuwan
Adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia dapat dilakukan dengan cepat dan mudah, dan bidang ini juga memberi kemudahan dalam bidang kesehatan, transportasi, pendidikan, dan komunikasi. Namun, kemajuan ini juga membawa dampak negative, yakni dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini dapat membuat manusia kehilangan arti kemanusiaannya. Manusia sering dihadapkan oleh situasi yang tidak manusiawi lagi, mereka terpenjara dalam kisi-kisi teknologi yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaanya.
Untuk menyelesaian krisis moral yang diakibatkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi di atas, diperlukan seorang ilmuwan yang baik sehingga segala tindakan yang dilakukan akan selalu dipikirkan baik buruknya menurut etika moral. Seorang ilmuwan harus memiliki sikap ilmiah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ada beberapa sikap yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan antara lain:
1. Seorang ilmuwan harus bersikap selektif terhadap segala informasi dan realita yang dihadapinya.
2. Seorang ilmuwan sangat menghargai terhadap segala pendapat yang dikemukakan oleh oranglain, oleh para ilmuwan lainnya, memiliki keyakinan yang kuat terhadap kenyataan maupun terhadap alat indra serta budi, adanya sikap yang positif terhadap setiap pendapat atau teori terdahulu telah memberikan inspirasibagi terlaksanya penelitian dan pengamatan lebih lanjut
3. Selain adanya sikap positif, seorang ilmuwan juga memiliki rasa tidak puas terhadap penelitian yang telah dlakukan sehingga dia terdorong untuk terus melakukan riset atau penelitian.
4. Seorang ilmuwan harus memiliki ahlak atau sikap etis yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan Negara.
2.5 Kesadaran Moral
Kesadaran manusia untuk melaksanakan cita- cita dalam nilai dan norma, didorong oleh pandangan hidup atau agama yang disebut kesadaran moral. Kesadaran moral muncul apabila kita harus memutuskan sesuatu yang menyangkut hak atau kebahagiaan orang lain. Menurut Franz Magnis Suseno, unsur-unsur pokok dalam kesadaran moral menunjukan ada tiga unsur dalam kesadaran moral, yaitu sebagai berikut:
1. Mengungkapkan kesadaran bahwa kewajiban moral itu bersifat mutlak..
2. Mengungkapkan rasionalitas kesadaran moral.
3. Mengungkpkan segi tanggung jawab subjektif.
Agar unsur kesadaran moral dapat kita wujudkan kita harus memahami moral itu sendiri. Menurut W. Huki (1981) kita dapat memahami moral dengan tiga cara, yaitu sebagai berikut:
1. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan.
2. Moral sebagi perangkat ideal-ideal tentang tingkah laku hidup dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam suatu lingkungan cultural tertentu.
3. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
Menurut Conny R. Semiawan (1991:117) tanggung jawab moral ilmuwan merupakan refleksi dari kewajiban (moral imperative). Kewajiban moral adalah kewajiban yang mengikat batin seseorang lepas dari pendapat masyarakat, teman, maupun atasan. Tanggung jawab moral seorang ilmuwan tidak dapat terlepas dari integritas ilmuwan tersebut, agar menjadi ilmuwan yang sejati . Ciri ilmuwan sejati yaitu integritas yang tinggi dan rasa keterlibatan dan tanggung jawab yang menyeluruh terhadap pekerjaan yang digelutinya.
Tanggung jawab moral menyangkut pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggung jawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya. DI mana ilmu harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak manusia.
Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakankebenaran.
Kaitan Ilmu dan moral
1. Pendekatan ontologis, dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahan ilmu, maka kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kudrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.
2. Pendekatan epistemologis, dalam proses kegiata keilmuan, maka setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan perbahasan secara individual.
3. Pendekatan aksiologis, Pada dasaranya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Dalam hal ini maka ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikankudrat manusia, martabat manusia dan keabadian/ keseimbangan alam.
Tanggung jawab moral ilmuwan: Profesional dan moral
Pendekatan secara ontologism, epistemologis, dan aksiologis memberikan delapan belas asas moral yang berkaitan dengan kegiatan keilmuan: Keseluruhan asas moral ini pada hakikatnya dapat dikelompokan menjadi dua:
1. Kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab professional. Tanggung jawab professional lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuwan yang berkaitan dengan landasan epistemologis, mencakup asas: (1) kebenaran (2) kejujuran (3) tanpa kepentingan langsung (4) menyandarkan pada kekuatan penghujahan (5) rasional (6) objektf (7) kritis (8) terbuka (9) pragmatis (10) tidak mengubah kodrat manusia (11) tidak merendahkan martabat manusia (12) tidak mencampuri maslah tentang kehidupan (13) neutral daripada nilai- nilai yang bersifat dogmatic dalam menafsirkan hakikat reality
2. Kelompok asas moral yang membetuk tanggung jwab sosial, yakni pertanggungjawaban ilmuwan terhadap masyarakat yang melibatkan asas moral tentang pemilihan etis terhadap objek penelaahan keilmuan.
3. Kesimpulan
Penalaran otak manusia sangat luar biasa, berdasarkan pernyataan tersebut maka disimpulkan maka semakin cerdas seseorang maka harus pandai pula menemukan kebenaran, berbudi, serta bermoral. Ilmu dan teknologi merupakan bukti kemajuan peradaban manusia, berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah, namun faktor negativ pada kemajuan ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu tanpa moral digunakan untuk menguasai alam serta memerangi sesama manusia, senjata pembunuh, teknik penyiksaan serta cara memperbudak massa telah diciptakan seiring dengan perkembangan ilmu.
Perkembangan ilmu sering melupakan factor manusia, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya manusialah yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia, melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. [1]
Ilmu mampu menimbulkan gejala dehumanisasi serta memungkinkan mengubah hakikat kemanusiaan, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuan terbagi ke dalam dua golongan yaitu Golongan yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologism maupun aksiologi. Dalam hal ini tugas ilmuan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannnya; apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan yang baik , ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk. Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terdapat nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisisk keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka dalam penggunaannya bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.
4. Daftar Pustaka
Suriasumantri. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Susanto. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar