Daftar Blog Saya

18.4.12

Kontek Interpersonal Pengajaran Bahasa


I.  Pendahuluan
            Bahasa merupakan sistem komunikasi yang sangat penting bagi manusia. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa senantiasa dianalisis dan dikaji dengan berbagai macam pendekatan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa adalah pendekatan makna. Makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri.
            Ujaran linguistik terdapat dalam beberapa konteks tertentu, dan menunjukan peran makna merupakan bagian terpenting dalam kajian semantik.  Bahasan ini akan mengupas ruang lingkup interpersonal dari suatu ujaran atau pernyataan.  Pada dasarnya setiap ujaran dalam tindak  tutur diatur  oleh suatu kaidah yang disebut dengan maksim. 
II.                PEMBAHASAN
  1. Kekuatan Ilokusi dan Tindak Tutur
Hubungan antara bahasa dan konteks tidak terbatas pada ekspresi linguistik yang hanya menyebutkan nama  atau menggambarkan sesuatu yang sudah memiliki rujukan atau keadaan[1]. Pernyataan mengenai dunia hanyalah salah satu tindakan  yang dapat kita gunakan mengajukan  pertanyaan, mengeluarkan perintah, dan membuat permintaan. Sebagian besar sejarah menyampaikan banyaknya refleksi (terutama dalam filsafat) yang menegaskan fungsi bahasa sebagai alat untuk menggambarkan (menegaskan fakta-fakta) mengenai realitas dan dapat melakukan berbagai fungsi yang berbeda tidak sepenuhnya dipahami.
Seperti yang terjadi, ada alasan untuk melihat  kebenaran fakta  sebagaia fungsi khusus di dalam berbahasa. Sebagaimana yang ditulis oleh Givon (1984:248), peranan yang paling utama dalam berbahasa dapat dilihat sebagai akibat dari empat  skala utama dari organisasi sosial manusia  dan tipe pertukaran pembicaraan yang ditimbulkan, yaitu 1) topik pembicaraan sering kali di luar  jangkauan, berbagai perseptual yang tersedia; 2) informasi yang terkait banyak  tidak dimiliki oleh peserta dalam pertukaran pembicaraan; 3) cepatnya perubahan lingkungan manusia yang memerlukan waktu untuk memperbaharui latar belakang pengetahuan bersama; 4) Partisipan sering orang baru.
Givon (1984:284) melanjutkan mengatakan 
Dalam kondisi seperti  ini, tujaun akhir dari transaksi komunikatif memang untuk memanipulasi beberapa hal terhadap beberapa target tindakan, yang pertama adalah lawan bicara- yang pada kenyataannya terus membuat, menciptakan, dan memperbaiki pengetahuan bersama yang merupakan syarat mutlak dalam transaksi komunikatif.
Namun demikian, pernyataan bukan satu-satunya fungsi bahasa yang dapat digunakan. Bahasa tiadak hanya digunakan untuk membicarakan sesuatu atau menggambarkan dunia, tetapi kita melakukan sesuatu dengan bahasa untuk memanipulasi dan menginduksi transformasi di dalamnya. Salah satu cara  untuk berpikir tentang bagaimana kita menggunakan bahasa untuk memprovokasi trasformasi di dunia luar adalah dari segi kekuatan ide. 
Frege telah membedakan kekuatan ekspesi linguistik dari makna. Konsepsi kekuatan dalam Frege masih sederhana, yaitu menganggap tipe kekuatan tampaknya hanya berupa pernyataan dan pertanyaan. Dalam serangkaian ceramah yang terkenal di  awal 1950-an, disampaikan seorang filsuf Inggris John L. Austin, salah satu penerjemah Frege memperluas gagasan Frege tentang kekuatan. Murid Austin, John R. Searle mengembangkan idenya menjadi sebuah filsafat yang komperehensif tentang bahasa, yaitu teori  tindak tutur.
1.      Tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi
Dalam penelitian tentang kekuatan ekspresi bahasa, Austin membedakan tiga jenis tindakan yang dilakukan dalam ucapan, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi yang didefinisikan sebagai berikut.
Tindak lokusi merupakan  tindakan untuk menyatakan sesuatu (The Act of Saying something), yaitu tindakan mengungkapkan makna harfiah dari kata-kata yang dipilih. Misalnya dalam kalimat  Engkau akan merasakan tanganmu tertiup angin, pembicara melakukan tindak lokusi untuk menyatakan bahwa pendengar akan merasakan tanganya tertiup angin. Contoh lain, Jari tangan jumlahnya ada lima. Kalimat Jari tangan jumlahnya ada lima diutarakan pembicara semata-mata untuk menginformasikan tanpa adanya tendensi untuk melakukan sesuatu[2].
Tindak ilokusi adalah tindakan yang dilakukan untuk menyatakan atau menginformasikan sesuatu, serta untuk melakukan sesuatu (The Act Doing Something). Tindak ilokusi merupakan suatu tindakan bahwa pembicara melakukan sesuatu dalam suatu ujaran. Dalam banyak konteks, ucapan dari pernyataan Anda akan merasakan tangan anda tertiup angin  dimaksudkan, dipahami sebagai tindakan peringatan, yaitu  ucapan yang memiliki kekuatan ilokusi dari peringatan. Ucapan terima kasih,  ucapan selamat, dan menasihati merupakan tindakan yang berlaku dengan ilokusi yang berbeda, yaitu pembicara lebih menjelaskan atau menegaskan fakta tentang situasi tertentu.
Austin menambahkan, pembicara dari jenis tindakan ilokusi tidak hanya mengatakan sesuatu, tetapi ia melakukan sesuatu (berterima  kasih, mengucapkan selamat, atau menasihati) dengan terlibat pada konvensi tertentu dalam perilaku verbal. Tindak ilokusi merupakan suatu tindak yang dipandang dari sudut peraturan memenuhi sistem interaksi masyarakat bahasa atau dibatasi konvensi sosial.[3]
Contoh lain, Ada anjing gila. Kalimat ini yang biasa ditemui di pintu pagar atau bagian depan rumah pemilik anjing tidak hanya berfungsi untuk memberikan informasi, tetapi untuk memberikan peringatan. Akan tetapi, bila ditujukan kepada pencuri, tuturan ini mungkin pula diutarakan untuk menakut-nakuti.
Selanjutnya, tindak perlokusi adalah adalah tindakan yang menghasilkan  atau mempunyai pengaruh atau efek bagi pendengar melalui ucapan (The Act of Affecting Some one). Tergantung pada keadaan, tindakan yang  terlihat dalam kalimat  Engkau akan merasakan tanganmu tertiup angin mungkin untuk mencegah pendengar dari permainan tongkang atau tongkat dinamit, untuk menakut-nakuti pendengar, mendorong mereka untuk terus melambaikan nyala api di depan sekantong kembang api, dll.
            Eksprsi linguistik yang dicari dalam tindak ilokusi tidak hanya memiliki fungsi untuk menjelaskan atau menyatakan fakta tentang situasi (Austin menyebutnya fungsi konstatif). Ketika kita mengatakan sesuatu seperti Engkau akan merasakan tanganmu tertiup angin, kita tidak hanya mengatakan sesuatu, tetapi kita juga melakukan tindakan, aksi peringatan. Jika kalimat ini tidak jelas Engakau akan merasakan tanganmu tertiup angin dimaksudkan sebagai peringatan, pembicara dapat mengatakan secara eksplisit Saya peringatkan,Engkau akan merasakan tanganmu tertiup angin. Dalam menggunakan kata kerja warn  pembicara membuat gaya dari ucapan mereka sebagai peringatan eksplisit. Tidak ada cara lain secara eksplisit untuk memperingatkan orang lain selain menggunakan kata-kata ‘Saya memperingatkanmu’,  Saya memperingatkanmu bahwa’, atau konstruksi yang identik. Austin menyebut jenis ucapan ini disebut performatif eksplisit. Ketika dikatakan Saya memperingatkanmu bahwa . . . tidak dijelaskan atau dinyatakan keberadaan setiap fakta  independen, tetapi melakukan tindakan (the act of warning) yang tidak dapat dilakukan secara eksplisit. Sebaliknya, dasar ucapan  Engkau akan merasakan tanganmu tertiup angin  mungkin memiliki ilokusi peringatan yang bersifat memaksa, tetapi bukan performatif eksplisit, tetapi disebut performatif implisit.
            Selain sebagai penegasan, pertanyaan, dan pemesanan, merupakan daftar  yang sederhana akan mencakup perjanjian, terimah kasih, permintaan, ucapan selamat, nasihat, sumpah, cacian, permintaan maaf, jaminan, dan peringatan. Semua ini merupakan konvensi bagaimana cara menggunakan bahasa. Pada urutan pembicara S meminta pendengar H untuk melakukan tindakan A, misalnya, kondisi sosial tertentu yang harus dipenuhi. Searle meringkas kondisi ini muncul dalam
(1)               (i) harus berada pada masa depan, bukan pada masa lalu
(ii) H harus mampu melakukan A
(iii) Harus jelas untuk S dan H bahwa H tidak akan melakukan A juga, pada peristiwa normal
(iv) S mengingini H mau untuk melakukan A, dll (lihat Searle, 1969:57-61)
2.      Konsekuensi dari Perspektif Ilokusi
Berfokus pada aspek ilokusi dari setiap ucapan memiliki dua konsekuensi penting dalam teori linguistik, yaitu pertimbangan kebenaran dan kepalsuan yang relevan dengan tindak ilokusi.Seperti dalam kalimat
(2)               Sayaminta maaf atas kekacauan yang saya buat.
Saya taruhan sebanyak yang kamu suka bahwa akan hujan pada pesta itu.
Aku melarangmu untuk menyentuh berlian itu.
Saya berjanji bahwa saya tidak akan pernah menakutimu lagi.
Austin menunjukkan, hal ini tidak masuk akal apakah memang benar meminta bahwa ‘Saya minta maaf untuk kekacauan yang saya buat’:  tindakan mengatakan Saya meminta maaf merupakan permintaan maaf. Di sini yang  dinilai bukansebagai hal yang benar atau salah, kalimat (2) harus sesuai dengan kondisi tertentu, seperti kondisi yang mengatur tindakan permintaan dari penjelasan di atas. Austin menyebutnya sebagai kondisi menyenangkan.
Teori-teori tradisional tentang bahasa mengenai tindak tutur lebih fokus pada objek analisis dasar semantik.  Austin menemukan kenyataan bahwa tampaknya tidak mungkin untuk menentukan daftar kriteria yang mungkin membedakan ekspresi yang dapat berfungsi sebagai performatif dari yang tidak biasa. Menurut Austin, setiap ekspresi dapat membawa setiap kekuatan ilokusi. Tidak ada cara tertentu   dalam setiap bahasa, melakukan tindak ilokusi yang diberikan: kekuatan ilokusi dari setiap tuturan pada prinsipnya dapat diprediksi dari  sintaksis secara jelas atau bentuk leksikal. Pembicara sering melakukan tindak tutur yang komunikatif dengan tujuan (makna tuturan) tidak sesuai antara kalimat yang jelas dengan makna. Sebagai contoh, untuk mendapatkan seorang menutup pintu, saya mungkin tidak memilih sebuah konstruksi yang berhubungan dengan bentuk perintah (Tolong, tutup pintu!) tetapi dapat digunakan sebagai bentuk pertanyaan (Bisakah aku membantumu menutup pintu?) atau pernyataan (Tiba-tiba di sini berangin). Tindak tutur seperti ini, yang kekuatan ilokusi tidak sesuai dengan kejelasan tindak ilokusi dari jenis kalimat, dikenal sebagai tindak tutur tidak langsung.
            Karena frekuensi tindak tutur tidak langsung merupakan konvensi yang  menghubungkan tujuan komunikatif diberikan  dengan ilokusi harus memperhitungkan fakta bahwa bentuk yang sama mungkin digunakan untuk mencapai tujuan yang berbeda. Dalam bahasa  Perancis, misalnya menggunakan berbagai mekanisme linguistik untuk mengekspresikan perintah. Sebagai bentuk imperatif (tais-toi ‘diam’), ini termasuk dalam kata kerja dalam infinitif suasana hati (ne pas ouvrir ‘jangan buka’), dan dalam indikasi ((vous dresserez une liste des consonnes sourdes, ‘menulis daftar konsonan tak bersuara’),- bahkan dalam beberap kasus konvensional, frasa kata benda ((ta gueule ‘ diam!), harfiah ‘Mulut anda’).
            Lebih lanjut lagi, ekspresi performatif eksplisit dapat digunakan dengan cara yang tidak sesuai dengan makna konvensional mereka. Pada frase “‘I guarantee there are no slackers in this company’, sebagai contoh, kekuatan ilokusinya sebagai jaminan, tetapi bisa berfungsi sebagai peringatan, ancaman, janji, dan sebagainya.
Davinson (1979:73) mengatakan, fakta bahwa struktur linguistik tunggal dapat melayani jumlah yang tidak terbatas  pada kontekstual yang komunikatif disebut otonomi lingusitik, mempunyai arti bahwa setelah fitur bahasa diberikan ekspresi konvensioanl, dapat pula digunakan untuk melayani banyak linguistik tambahan, representasi simbolis penting memutuskan beberapa ikatan tertutup dengan tujuan ekstra-linguistik. Penerapan kasus ini bahwa tidak mungkin ada suatu bentuk tindak tutur yang hanya dengan arti konvensional, hanya digunakan untuk diberikan tujuan, seperti membuat pernyataan atau mengajukan pertanyaan.
Adanya ketidakmungkinan perbedaan karakteristik pada kekuatan ilokusi secara tegas mengekspresikan penentuan seberapa besar perspektif seseorang pada makna. Jika mengingat konteks yang tepat, ekspresi apapun dapat digunakan untuk membuat efek kontekstual, maka unit linguistik secara umum bukan hanya  simbol, kata atau kalimat, atau bahkan tanda simbol, kata atau kalimat, melainkan pula produksi atau penerbitan simbol atau kata atau kalimat dalam kinerja tindak tutur (Searle, 1969:16).
Dalam perspektif ini, sifat yang berarti dalam komunikasi manusia tidak dapat begitu saja dikaitkan dengan sifat semantik, yaitu kebermaknaan bukan milik bahasa sendiri, tetapi juga pengguna bahasa sebagai bagian dari konteks interpersonal, serta sebagai bagian dari jaringan sosial bersama. Wawasan ini bahkan meluas ke penggunaan, referensial  bahasa secara tegas.
Sebagaimana dicatat oleh Recanati (11987:128), ‘Ini bukan kalimat ‘ “Ini akan hujan”, melainkan kenyataan dari keberadaan yang diucapkan oleh Jules, yang “menyatakan” atau keyakinan Julies menyampaikan secara pragmatis bahwa hujan akan turun. Sedangkan Austin sendiri menunjukkan keluar, penggunaan bahasa untuk menggambarkan aspek-aspek realitas itu sendiri perlu dilihat sebagai salah satu tindak tutur,  Dengan kata lain, suatu kegiatan tunduk pada seperangkat konvensi yang seluruhnya setara dengan konvensi yang mengatur tindak tutur seperti berjanji, berterima kasih, atau ucapan selamat.
            Konvensi yang mengatur ucapan konstatif (pernyataan), misalnya mari kita mengatakan bahwa P-meliputi (Searle, 1969:66; cf Austin. 1962:136-147):
(3)               i. S memiliki bukti bagi kebenaran dari p
ii. Hal ini tidak nyata pada kedua S dan H dan bahwa H mengetahui (hal ini tidak perlu diingatkan kembali, dan seterusnya)
iii.  S percaya pada p.
Ucapan linguistik yang menduduki tempat yang dapat dilihat dalam struktur masa lalu dan akan datang mengenai  tindakan dan kondisi mental yang dipelihara dan ditegakkan oleh konvensi sosial.
            Penggunaan bahasa bukan sebuah latihan tanpa manusia menegaskan fakta netral tentang dunia. Ini adalah tindakan yang terletak pada kontekstual dengan peran dan tanggung jawab sosial. Hal ini terjadi karena tidak terlepas dari ucapan  apakah konstatif atau performatif. Seperti pernyataan Austin (1962:145-147), perbedaan antara konstatif dan performatif dapat dilihat  sebagai salah satu penekanan. Dengan demikian, tuturan konstatif (pernyataan, penjelasan) secara abstrak jauh dari aspek ilokusi dan dalam tindak tuturan lebih fokus pada aspek tindak lokusi, yaitu sejauh mana ucapan sesuai dengan fakta. Tuturan performatif, perbedaan fokus pada aspek ilokusi, secara abstrak jauh dari dimensi tindak lokusi.
  1. Maksud Pembicara dan Inferensi Pendengar
Sebagimana yang telah kita lihat, Austin tidak percaya bahwa tindakan ilokusi disertai dengan penandaan gramatikal atau prediksi leksikal. Baik Austin maupun Searle percaya bahwa membuat dan memahami tindak tutur berdasarkan konvensi sosial seperti yang telah dibahasa sebelumnya. Namun, gagasan bahwa konvensi yang mendasari kekuatan ilokusi dari ucapan-ucapan telah banyak dikritik. Pokok permasalahan dengan teori tersebut terbukti sangat sulit untuk menyatakan apa konvensi di balik setiap tindak tutur yang mungkin diberikan. Dengan demikian, konvensi yang mengatur pernyataan yang telah disebutkan di atas tampaknya tidak memadai: kita sering tidak memiliki bukti (e.g. Engkau tidak akan botak), yang jelas bahwa si pendengar  tahu (Engkau telah kehilangan sedikit rambut lebih duluh) dan kita tetap tidak percaya (Engkau telah kehilangan sedikit rambut). Demikian juga, konvensi diduga mengatur perbuatan tentang permintaan dapat dilanggar, tanpa mengurangi sifat ucapan sebagai permintaan. Sebagai contoh, S merasa berkewajiban untuk mengundang H untuk makan malam, tetapi tidak menginginkan H datang. S dengan demikian dapat mengundang H untuk datang pada waktu mereka tahu bahwa H tidak bersedia. Dalam kasus seperti ini, permintaan Datanglah makan malam bersama kami besok dibuat S tidak menginginkan H datang (kondisi iv) dalam (1) di atas), dan H tidak mampu untuk melakukannya (kondisi ii). Ucapan ini merupakan permintaan (lihat Strawson 1971:153-154 untuk contoh selanjutnya)
            Masalah umum dengan konvensi berbasis kekuatan ilokusi adalah mereka mengabaikan peran apresiasi niat pembicara, dalam pemahaman mereka tentang makna. Peran niat dalam arti pertama kali disampaikan oleh filsuf Inggris HP Grice, Kolaborator Austin pada tahun 1940-an dan 1950-an. “Arti (umum) adalah tanda yang perlu dijelaskan oleh para pengguna mengenai hal yang dimaksud pada kesemptan tertentu’ (1989:217). Jika kita memahami bahwa ucapan tertentu adalah suatu pernyataan, permintaan, atau peringatan, pada teori Grice itu adalah hubungan antara pembicara dengan niat, yaitu niat untuk menyatakan, untuk meminta, atau untuk memperingatkan. Jika kita memiliki niat sebagai pembicara, kita dapat menafsirkan ucapan dengan dengan benar, jika saya menghargai  pembicara dengan niat berbeda, saya akan mengambil ucapan yang berbeda.
            Pentingnya niat pembicara berlaku pada ilokusi dan aspek lokusi dari setiap ucapan. Pada  ilokusi, interpretasi pendengar terhadap tindak tutur yang dilakukan pembicara akan bergantung, seperti yang baru kita lihat, pada interpretasi niat S. Ucapan S  mudah jatuh dalam kegelapan mungkin berfungsi sebagai permintaan kepada H untuk menyalahkan lampu, peringatan bagi H berhati-hati, metafora tentang bahaya kebodohan, diucapkan tanpa maksud memprovokasi tindakan khusus pada bagian H. Dalam reaksi terhadap ucapan, H menyimpulkan kemungkinan yang dimaksud S. Dalam ucapan ini, S dimaksudkan untuk mengatakan satu hal saja, tetapi S memiliki beberapa niat dalam mengucapkan kata-kata. Namun demikian, pendengar wajib membuat kesimpulan tentang niat S agar dapat merespon dengan tepat.
            Pada sisi tindak lokusi adalah membuat kesimpulan tentang niat pembicara bahwa pendengar akan memilih aspek yang relevan dengan pengetahuan eksiklopedia pada ekspresi linguistik: informasi eksiklopedia yang relevan bagi penafsir ucapan adalah informasi yang dimaksudkan untuk menyampaikan, dan pendengar harus memutuskan elemen dari pengetahuan ensiklopedia pembicara dalam pikiran. Jadi, jika saya mengatakan katak dalam referensi Perancis He may be a Frog, but no princess is kissing him (see (19), itu karena saya mempertimbangkan fakta-fakta tertentu dan relevan dengan konteks ini. Fakta bahwa ada cerita seorang putri yang mencium kodok, dan orang Perancis mungkin menyebutnya kodok. Untuk memahami dengan benar, setiap pendengar perlu menghargai niat saya untuk menyampaikan informasi ini. Tetapi peran niat tidak terbatas pada pemilihan ensiklopedia yang sesuai dengan fakta tentang sebuah kata. Kita perlu memahami maksud pembicara dalam penentuan tindak lokusi dari apa yang dikatakan.  Jika saya mendengar Ada  seekor tikus di sini pagi ada dua pilihan interpretasi, yaitu  saya menginterpretasikan yaitu there was a small rodent in the house this morning anda ada sebuah aksesoris komputer di mejapagi ini  there was a computer accessory on this table this morning akan saya buat buat berdasarkan keyakinan saya mengenai niat pembicara: apakah pembicara bermaksud saya untuk memahami dia akan membuat komentar tentang keberadaan satwa liar di suatu tempat di rumah atau sekitar bagian Komputer yang seharusnya pada meja?
            Jadi, menyimpulkan maksud pembicara dilihat dari aspek proses penciptaan makna dan pemahaman bahasa. Komunikasi linguistik adalah proses yang disengaja-inreferensial, di mana pendengar mencoba untuk menyimpulkan niat dari maksud pembicara dalam bentuk bahasa. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Speeber dan Wilson (2002:3), dasar latiahn metapsikologi, di mana si pendengar menyimpulkan maksud pembicara dimaksudkan dari bukti yang disediakan untuk tujuan ini. Kelayakan analisis makna dalam hal niat tak jarang dipertanyakan oleh para filsuf bahasa untuk alasan bahwa tidak ada ruang untuk masuk ke sini karena perincian analisis ini agak bermasalah (lihat Schiffer 1987: 242-249).
Namun demikian, program Grice tentang tentang semantik interferensial dianggap oleh para ahli bahasa dan telah dibuktikan dalam memahami penggunaan bahasa. Grice di sini menyebutkan jenis niat tergantung pada karakteristik makna  nonalami bahasa. Label nonalami dimaksudkan untuk mengontraskan dengan jenis alami dari kebermaknaan yang tidak dimediasi oleh niat pembicara seperti kita mengatakan titik-titik berarti campak : di sini hubungan antara tempat dan makna mereka (campak) adalah kausal, terlepas dari badan manusia, sedangkan arti sebuah ucapan dalam bahasa manusia bergantung pada niat dari pernyataan tersebut. Secara umum Grice, gagasan arti dari sebuah kata hanya dijelaskan dalam hal  yang dimaksudkan oleh penuturnya. Pentingnya berkomunikasi apa yang dimaksudkan pembicara kata-kata bermakna, apa niatnya, sehingga kita dapat berbicara sesuai dengan kata kata sendiri yang memiliki mkna (Grice, 1989:214-221).
  1. Interpersonal Konteks: implikasi
Dibahas dalam bab sebelumnya, kita telah mendiskusikan pada  bagian (3.1) yaitu mengenai salah satu tugas pokok semantik. Harus dikarakteristikkan ke dalam cakupan arti ekspresi. Semua tuturan yang terjadi pada semua konteks, itu menjadi sebuah kebutuhan untuk memisahkan dari aspek-aspek pengaruh dari sebuah tuturan yang di sebabkan oleh penggunaan tuturan tersebut  pada  konteks tertentu yang diciptakan oleh makna dari masing-masing elemen konstituennya. Sejauh ini kami telah membedakan dua cara tertentu dimana konteks terwujud secara linguistic:  referensi, dibahasa dalam bab sebelumnya, ilokusi dan kekuatan. Kedua,  kami telah nyatakan, perlu dibedakan dari linguistic makna (sense): makna ekspresi maupun tutur yang menjadi bagiannya, perlu selalu dipertimbangkan agar menjadi ekspresi yang berarti (sense).
Dalam kerangka disengaja, disimpulkan diprakarsai oleh Grice, salah satu
pokok pikirannya yaitu  tentang keterkaitan antara makna dan konteks, dalam hal gagasan antara implikatur dalam percakapan.Teori implikatur percakapan dikembangkan oleh Grice yaitu pada tahun 1967 dan sangat berpengaruh pada filosofi berikutnya, yaitu linguistic dan ilmu kognitif.  Grice pertama kali tertarik kedalam ruang lingkup makna: bagaimana batas antara ekspresi yang berarti dan penggunaannya dalam konteks tertentu (1989). Dengan kata lain makna kalimat berkaitan dengan makna ucapan(lihat1.4.4). khususnya dalam pemikiran Grice adalah untuk mengembangkan cara berfikir tentang bahasa yang memiliki konsepsi tentang proyek makna ungkapan yang sengaja digunakan dalam ucapan pada konteks tertentu memiliki banyak kesalahan dalam penggunaannya.  Namun tidak semua fitur dari ucapan, bergantung pada konteksnya. Grice mengklaim secara langsung, yaitu tergantung pada makna konstituennya. Artinya tidak menentukan secara langsung, tergantung pada fitur keseluruhan dari sebuah ekspresi dalam konteks tertentu. Cara dan dimana ekspresi itu digunakan dan pada konteks apa, walupun dalam konteks yang berbeda, ekspresi yang sama dan memiliki makna yang sama bisa memiliki fitur yang sangat berbeda.   
  1. Perbedaan antara Kebenaran-Fungsional Arti dan Makna Ucapan
Grice memiliki pandangan mengenai kebenaran bersyarat atau kebenaran fungsional. Grice melihat dari sudut pandang adanya perbedaan antara makna kalimat (mengandung : kebenaran bersayarat). Hal ini dilihat dari sudut pandang ekspresi linguistic fundamental dan ucapan dalam penggunaan bahasa yang sebenarnya. Contoh yang pertama menurut Grice yaitu adanya operator logika. Menurut  Grice rasa/ sense menjadi sebuah fungsi yang telah di logika. Alasan penting adalah, prinsip-prinsip logika bersifat universal dan mendasari pengoperasian semua manusia kegiatan konseptual, termasuk bahasa: untuk mempelajari logika demikian untuk mempelajari dasar-dasar pemikiran manusia/rasional.
4) Dia naik ke tempat tidur dan melepas sepatunya.
   (Dia naik ke tempat tidur, baru setelah itu dia membuka sepatumya)
Grice mencatat fakta bahwa tidak akan sesuai antara ucapan (4) tentang seseorang yang pertama  melepas sepatu dan kemudian naik ke tempat tidur.  Secara temporal tidak logis kebenaran fungsionalnya.
(4) adalah perbedaan antara arti dasar sebagai ikat logis. Ini adalah perbedaan antara arti dasar sebagai ikat logis.  Ini adalah karena dua alasan.
Pertama, ia berkomitmen untuk pendekatan kebenaran fungsional untuk makna dimana rasa suka dan operator logika sederhana adalah sebagai peran penghubung logis. Ini berarti bahwa ia membutuhkan cara untuk mengatasi kasus seperti(4) , yang tampaknya untuk menunjukkan bahwa bahasa sehari-hari tidak mentaati kebenaran prinsif fungsional . 
Kedua, ia percaya bahwa kebanyakan orang akan mengatakan bahwa (4) adalah deskripsi menyesatkan pada situasi pertanyaannya. Namun tetap benar karena hal ini ada dalam sebuah situasi ucapan.

(4) sebagai deskripsi dari situasi di mana seseorang melepas sepatunya
dan kemudian naik ke tempat tidur, meskipun itu adalah cara yang tidak biasa dan membingungkan untuk menggambarkan situasi ini.
Kalimat:
5) Tuptim telah menyelesaikan beberapa pekerjaan rumahnya.
Dalam keadaan normal, pembicara dari (5) akan diartikan.
Bahwa Tuptim  belum menyelesaikan semua PR-nya, karena jika dia hanya menyelesaikan beberapa PR-nya (misalnya sejarahnya, geometri dan bahasa Jerman) berarti dia belum menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya, secara logis dia baru menyelesikan sebagian pekerjaan rumahnya (katakanlah dia baru menyelesaikan  sejarah dan geometri saja). dalam percakapan sehari-hari penafsiran  kalimat “beberapa” memiliki arti belum semua”.  jika saya mengatakan bahwa saya telah membaca beberapa buku, Saya menyiratkan bahwa saya belum membaca semuanya.  (Ini disebut skalar implikatur,  lihat Horn 1984).
Contoh  (lihat 6.2). pasangan  kalimat memiliki identik kebenaran bersyarat
(6) a. Dia kaya dan dia tidak bahagia.
     b. Hilda naik taksi dan Dirk naik bis.
(7) a. Dia kaya tapi dia tidak bahagia.
     b. Hilda naik taksi tapi Dirk naik bis.
Dari sudut kebenaran bersyarat dapat dilihat tidak ada perbedaan antara kalimat (6) dan (7): mereka benar dalam kondisi yang sama persis. Namun ada, perbedaan yang tidak benar-bersyarat jelas antara (6) dan(7): (7) memiliki implikasi kontras pembeda sedangkan (6) tidak.
  1. Konvensional  (Kesepakatan) dan Implikatur Percakapan
Implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan atara ujaran dari seorang penutur dan lawan tuturnya. Namun, keterkaitan itu tidak tampak secara literal; tetapi dapat dipahami secara tersirat. Simak penuturan (8) antara A seorang ibu rumah tangga dengan B sorang ibu rumah tangga lain.
(8) A: bapak X tetangga kita yang baru itu mobilnya sering ganti-ganti ya.
     B : tentu saja kerana dia bekerja dikantor pajak.
Bisakah di  pahami keterkaitan antara “sering ganti mobil” dengan “bekerja dikantor pajak?” secara literal tidak bisa difahami kerena tidak disebutkan dalam penuturan itu; tetapi secara tersirat bisa dipahami kerana pada waktu sekarang kita tahu keadaan ekonomi seorang pegawai kantor pajak memang jauh lebih makmur daripada yang tidak bekerja dikantor pajak.
Contoh lain (9), penuturan A dan B berikut
A: wah, panas sekali sore ini. Kamu kok tidak berkeringat. Apa tidak kegerahan?
B: Tidak! aku sudah mandi tadi.
Kalimat jawaban B “aku sudah mandi tadi” secara literal tidak mempunyai sangkut paut dengan kalimat pertanyaan dari B ”apakah tidak kegerahan?’ namun, secara tersirat jawaban itu menyatakan bahwa B tidak kegerahan karena sudah mandi; dan bagi siapapun yang sudah mandi pasti tidak gerah lagi.
Contoh lain  penuturan (10), apakah ada keterkaitannya atau tidak ?
A: Waktu sholat Ashar sudah masuk belum?
B: tadi tukang roti sudah lewat.
(Keterkaitannya, tukang roti biasanya ewat setelah waktu sholat Ashar tiba).
  1. Gricean Maxsim dan Prinsip Kerjasama
Penuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan lawan tutur dalam pertuturan itu menaati prinsip-prinsip kerjasama seperti yang dikemukakan Grice. Dalam kajian pragmatic prinsip itu disebut maxim, yakni berupa pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran. Setiap penutur harus menaati empat maxsim kerjasama , yaitu maxim kuantitas (maxim of quantity), maxim kualitas (maxim of quality) maxim relevansi (maxim of relevance), dan maxim cara (maxim of manner).
a). Maxim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur hanya memberikan kontribusi yang secukupnya saja atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawannya. Jadi, jangan berlebihan. Misalnya tuturan (11) berikut telah menaati maxim kuantitas; sedangkan tuturan (12) tidak, karena berlebihan.
(11) Ayam saya telah bertelur.
(12) Ayam saya yang betina telah bertelur.
Mengapa tuturan (12) disebut tidak menaati maxim kuantitas? Karena adanya kata yang “betina” yang tidak perlu. Semua ayam yang bertelur sudah tentu ayam betina. Jdi, kata yang betina pada tuturan itu member informasi yang tidak perlu. Sementara tutran (11) sudah  menaati maxim kuantitas karena informasi yang diberikan hanya secukupnya saja, tidak berlebihan.
b). Maxim  kedua yang harus ditaati oleh penutur dan lawan tutur adalah maxim kualitas. Maxim ini menghendaki agar peserta pertuturan itu mengatakan hal yang sebenarnya; hal yang sesuai dengan data dan fakta. Kecuali barangkali kalau memang tidak tahu. Perhatikan, penuturan (13) dan (14) berikut:
(13) A: Coba kamu Ahmad, Kota Makasar ada di mana?
       B: Ada di Sulawesi selatan, pak.
(14) A: Deny, Siapa presiden pertama Republik Indonesia?
       B: Jendral Suharto, Pak!
        A: bagus, kalau begitu Bung Karno adalah presiden kedua, ya?
Penuturan (13) sudah menaati maxim kualitas karena kata Makasar memang berada di Sulawesi Selatan. Namun, pada penuturan (14) A memberikan kontribusi yang melanggar maxim kualitas dengan mengatakan Bung Karno adalah presiden kedua Republik Indonesia. Kontribusi A, yang melanggar maxim kualitas ini diberikan sebagai reaksi terhadap jawaban B yang salah. Dengan kontribusi yang salah ini maka B kemudian secara cepat akan member jawaban mengapa A membuat pernyataan yang salah itu. Kata “bagus” yang diucapkan dengan nada mengejek menyedari B terhadap kesalahannya. Lalu, mengapa A member kontribusi yang melanggar maxim kualitas dapat dijelaskan sebab-sebabnya.
c) Maxim ketiga yang harus ditaati oleh peserta tuturan adalah maxim relevansi. Maxim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah atau tajuk pertuturan. Mari kita simak contoh pertuturan (30) dan (31) berikut
(15) A: Bu,  ada telepon untuk ibu!
       B: Ibu sedang dikamar mandi, nak.
(16) A: Bu, bus yang kearah Kebayoran yang mana?
       B: Coba tanya pada petugas lalu lintas itu.
Sepintas jawaban B pada pertuturan (15) dan (16) tidak berhubungan. Namun bila disimak baik-baik hubungan itu ada. Jawaban B pada pertuturan (15) mengimplikasi atau menyiratkan bahwa saat itu si B tidak dapat menerima telepon secara langsung karena sedang berada dikamar mandi. Maka B secara tidak langsung meminta agar si A menerima telepon itu. Begitu juga kontribusi B pada pertuturan (16) yang memang tidak secara eksplisit menjawab pertanyaan A. akan tetapi dengan pengetahuan bahwa petugas lalu lintas mengetahui rute-rute bus kota, maka pertanyaan A dapat dijawab.
Sekarang bandingkan dengan pertuturan (17) berikut:

(17) A: pak, tadi ada tabrakan bajaj dan demo di depan apotek
       B : mana yang menang?
Komentar B terhadap pertanyaan A tidak ada relevansinya, sebab dalam peristiwa tabrakan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Kedua pihak sama-sama mengalami kerugian. Agaknya di luar dari maksud melucu jawaban B pada pertuturan (17) diatas  sukar dicari hubungan implikasionalnya. Beda dengan pertuturan (18) berikut yang meskipun tuturan A dan B ada relevansinya, tetapi kiranya hanya untuk kelucuan belaka.
(18) A: Mengapa orang mati harus dimandikan?
       B: karena dia tidak dapat mandi sendiri
d) Maxim keempat yang harus ditaati dalam pertuturan adalah maxim cara. Maxim ini mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak ambigu, tidak berlebih-lebih dan runtut. Umpamanya, pertuturan (19) dan (20) berikut belum menaati maxim cara ini.

(19) A: Kamu datang kesini mau apa?
       B : mau mengambil hak saya.
(20)A: Rumahmu di jalan Kencana
      B: ya, benar!
      A: yang mana?
      B: yang pagarnya tidak hijau
Penuturan (19) tidak menaati maxim cara karena bersifat ambigu. Kata “hak saya” tidak mengacu pada hak sepatu bisa juga pada sesuatu yang menjadi miliknya. Sedangkan pertuturan (20) tidak menaati maxim cara karena informasi “yang pagarnya tidak hujau” tidak lugas, tidak jelas. “ yang tidak hijau” bisa berarti yang biru, yang kuning ataupun merah. Contoh pertuturan yang menaati maxim cara adalam pertuturan (21) berikut:
(21) A: Coba kamu Ahmad, kota Makasar ada dimana?
       B: Ada di Sulawesi Selatan, pak!
Pertuturan (22) berikut juga termasuk contoh pelaksanaan maxim cara yaitu dengan mengeja huruf demi huruf kata “berak”. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengucapan kata tabu dan menjaga kesopanan.
(22)A: Barusan kamu dari mana?
      B: Dari belakang, habis b-e-r-a-k
Maxim cara juga mengharuskan para peserta pertuturan berbicara secara runtut atau menata pikiran secara teratur. Contoh pertuturan (23) berikut melanggar aspek keruntutan yang sangat penting untuk memahami keseluruhan makna penuturan. Simak baik-baik!
(23) Mulai dari birokrat paling bawah di tingkat kelurahan sampai pada birokrat tertinggi di tingkat kementrian melakukan korupsi . Tiap tahun triliunan uang Negara raib mereka korup. Perbuatan korupsi telah menggurita dikalangan birokrat di negeri kita. Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja keras menangkap dan memeriksa pejabat tersangka korup tetapi tiba dipengadilan hampir semua divonis bebas. Bukan hanya pejabat eksekutif tetapi juga pejabat legislative dan pejabat yudikatif.
Penuturan (24) berikut lebih runtut daripada pertuturan (24) di atas. Simak baik-baik.
(24) Perbuatan korupsi telang menggurita dikalangan birokrat di negeri kita. Mulai dari birokrat paling bawah di tingkat kelurahan sampai pada birokrat tertinggi di tingkat kementrian. Bukan hanya pejabat dikalangan eksekutif tetapi juga pejabat legislative dan pejabat yudikatif, tiap tahun triliunan yuang Negara raib mereka korup. Ironisnya meskipun KPK telah bekerja keras menangkap dan memeriksa pejabat tersangka korup, tetapi tiba di pengadilan hampir semuanya divonis bebas.
Grice mengklaim bahwa percakapan ini (dan seharusnya) diatur oleh prinsif kerjasama sebuah kondisi umum pada percakapan yang dilakukan. Prinsip Kerjasama pada dasarnya merupakan prinsip bahwa peserta percakapan bekerja sama dalam rangka untuk 'mengelola'pertukaran bicara mereka dengan cara seefisien mungkin:
 Pembicaraan hendaknya terdiri dari sebuah suksesi yang tidak  terputus sehingga memiliki rasionallisasinya. Karena bahasa tuturan memiliki ciri yang khas. Oleh karena itu agar informasi tersampaikan harus memiliki prinsif kerjasama.  (Grice 1989: 26)

Grice memberikan catatan,  bahwa tuturan percakapan pun bisa berubah-ubah dalam perjalannya.
Setiap langkah tuturan percakapan  tidak memiliki prinsif. Seorang pembicara dalam percakapan mampu menerima tujuan dari arah pertukaran pembicaraan  karena pada label ini terjadi Prinsip Kerjasama. (Grice 1989: 26)
Grice membedakan  empat maksim umum, dirinci di bawah ini, yang menurutnya bahwa penutur mengharapkan orang lain untuk mengamati percakapan:
Maxim Kualitas
Membuat Kontribusi yang benar :
(i)            Tidak mengatakan sesuatu yang sudah anda yakini salah
(ii)          Tidak mengatakan apa yang tidak anda miliki bukti yang memadai
Maxim Kuantitas
(i)            Membuat kontribusi : penutur sebagai pemberi informasi harus informative agar terjadi tujuan pertukaran
(ii)          Tidak membuat kontribusi anda, lebih informative dari pada yang diperlukan.
Maxim Relevansi
Membuat kontribusi Anda relevan
Maxim Manner
Jadilah yg mudah dipahami, dan memberi informasi yang khusus:
Menghindari ketidak jelasan
Menghindari ambiguitas
Singkat
Tertib/berurutan
(Grice 1989: 26-27)
Gries (1975) yang menyodorkan prinsif kerja sama dalam pertuturan membuat analog tentang keempat maximnya sebagai berikut:
a) Maxim kuantitas, kalau saya memerlukan dua buah obeng, maka kontribusi yang diharapkan adalah anda memeberi dua buah obeng; bukan tiga atau Satu
b) Maxim kualitas, kalau saya memerlukan gula untuk adonan kue, maka saya tidak mengharapkan anda memberikan garam atau tepung. Atau kalau saya membutuhkan sendok the, maka saya tidak mengharapkan anda memberikan sendok makan.
c) Maxim relevansi, bila saya sedang mencampur bahan-bahan adonan kue maka saya tidak mengharapkan anda memberikan kain oven walaupun benda yang terakhir ini saya butuhkan pada saatnya nanti.
d) Maxim cara, saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi yang harus dilakukannya dan melaksanakannya secara rasional.
Dengan analog itu barangkali konsep keempat maxim lebih dapat dipahami.
  1. Pelanggaran Kaidah Maxims
Grice mempertimbangkan empat cara dimana seorang pembicara mungkin gagal untuk mengamati sebuah maxim. Pertama, sebuah maxim mungkin saja dilanggar, seperti misalnya ketika seseorang dengan sengaja menetapkan untuk menyesatkan (maxim pelanggaran kualitas), dan pelanggran maksim cara (maxim of manner).  Kedua, tidak dapat keluar dari prinsif kerjasama. Prinsipnya, misalnya dengan mengatakan saya tidak bisa mengatakan lebih banyak, bibir saya disegel', dalam sebuah pesan untuk menghindari pembocoran rahasia. Ketiga, seseorang mungkin akan dihadapi oleh penolakan , karena tidak mungkin dalam sebuah maxim apabila tidak ada sebuah pelanggran. Pada prinsip kerjasama, bahwa pendengar dapat  mengekstrak implikasi dimaksudkan oleh pembicara. Sebagai contoh:
Jawaban B dalam (10), apakah ada keterkaitannya atau tidak ?
A: Waktu sholat Ashar sudah masuk belum?
B: tadi tukang roti sudah lewat .
Prinsip Kerjasama, dapat membuat pernyataan A relevan dengan menyimpulkan jawaban atas pertanyaan  dengan membandingkan prinsip-prinsip umum dunia pengetahuan: jika A belum faham bahwa tukang roti biasanya selalu datang saat masuk waktu ashar, maka ia tidak akan faham. Artinya memanfaatkan pepatah dari Relevansi untuk menghasilkan implikasi yang menjawab pertanyaan A
Artikulasi Grice :
Pada asumsi bahwa pembicara dapat memenuhi maxim namun bisa juga melakukan pelanggran terhadap pelanggar maxim lain (karena memiliki perbedaan), jangan menyesatkan si pendengar: Namun hal ini bisa disolusikan dengan Prinsip Kerjasama. (Grice 1989: 30)
  1. Pertanyaan –Pertanyaan Mengenai Implikasi
Menurut Grice, banyak kekuatan kontekstual dari sebuah ucapan yang diperoleh oleh si pendengar yaitu melalui proses rasional inferensi. Secara umum asumsi dalam rangka pertukaran  kerjasama, karena untuk Austin atau Searle, melalui ketaatan dari setiap konvensi (kesepakatan) spesipik yang mengatur tindak tutur yang berbeda. Pendekatan Gricean ini secara teoritis benar yaitu pada sifat dan arti secara umum. (lihat Levinson 2000 Untuk pengembangan ide-ide grice)
Tiga pengamatan, yang relevan. Terlebih dulu adalah bahwa percakapan keseluruhan sering dapat dilanjutkan tanpa implikatur, Grice membahas: bahwa kita sering berbicara dengan cara yang jauh lebih harfiah dari yang Grice sarankan. Yang kedua adalah bahwa tidak semua bahasa terjadi dalam konteks pertukaran bicara kerjasama.  Kadang-kadang kontribusi percakapan pun adalah kebalikan dari kerjasama: yaitu berupa pernyataan yang terputus-putus atau bertentangan, kita sering membuat pernyataan yang tidak memiliki bukti, yang kita tahu  bahwa itu tidak benar. Pada kenyataannya, kita bahkan tidak berharap untuk dipahami. Penggunaan Bahasa,sering tidak efisien, dalam percakapan sehingga rasionalitas lah yang Grice sarankan. contoh Grice adalah bahwa analisis selalu tergantung pada tuturan (i) bahwa implikatur yang disampaikan harus  jelas  (ii) kelebihan atau kurangnya yaitu pada  implikatur.  Tapi bagaimana realistisnya ?
Kadang-kadang Sangatlah jelas apakah pembicara menyiratkan sesuatu di luar apa yang mereka katakan. Dan dalam kasus di mana
kehadiran implikatur apakah mungkin atau  tidak. Hal ini bisa terjadi apabila seorang pendengar akan melanjutkan (setidaknya secara sadar) dengan cara Griceanlinier dimana sebuah pelanggaran salah satu maksim dicatat, dan implikasi sesuai dan dihitung atas dasar pertimbangan rasional dari apa yang pembicara bisa berniat. Jalannya percakapan nyata, dengan kata lain, sering
tampaknya jauh lebih kacau dan tidak rasional dari analisis Grice yang disarankan.
  1. Universalitas Makna
Jika prinsip-prinsip seperti yang dirumuskan Grice itu diterima dan mendasari berbagai jenis percakapan di dalam bahasa Inggris, maka muncul satu pertanyaan penting apakah hal ini berlaku juga untuk bahasa-bahasa lain. Keuniversalan dari Gricean maxims ini dipertanyakan oleh Keenan (1976). Keenan mengatakan bahwa kita dapat membayangkan  situasi- situasi percakapan yang terjadi di lingkungan kita sendiri yang tidak memperhatikan bagian pertama dari maxim quantity yang menetapkan bahwa para pendengar harus membuat sumbangan pikirannya itu seinformatif mungkin sebagaimana yang diperlukan untuk tujuan tukar pikiran  saat percakapan  itu berlangsung. Keenan menunjukan bahwa terdapat banyak situasi dimana informasi tersebut akan menjadi tidak bijaksana, tidak sopan atau tidak etis untuk disampaikan seinformatif mungkin. Seperti halnya informasi-informasi yang menjadi rahasia pengacara, dokter, juru bicara,  akuntan dan lain-lain. Dalam situasi seperti ini  tampaknya yang dimaksud dengan “seinformatif mungkin”  dalam Gricean Maxims harus diperhatikan kembali.
Setelah menunjukan kelemahan dalam penerapan prinsip maxim quantity point (i) di dalam konteks percakapan yang terjadi di Barat, Keenan mengklaim bahwa yang dimaksud dengan “seinformatif mungkin”  dalam Gricean maxims tidak berlaku secara umum. Keenan mencontohkan masyarakat Madagaskar di mana harapan pembicara untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dengan lengkap itu bukan merupakan norma dasar (Keenan 1976: 218). Bahkan di sebagian masyarakat tradisional Malagasi cenderung untuk menyembunyikan informasi terutama jika informasi tersebut merupakan informasi yang sangat penting:
Informasi baru adalah barang langka. Penduduk desa tersebut berasal dari sanak saudara yang memiliki silsilah dan latarbelakang serta kehidupan keluarga yang sudah diketahui secara umum. Kegiatan sehari-hari mereka sebagian besar adalah bertani. Hampir setiap kegiatan yang bersifat pribadi seperti mandi, bermain, pacaran dan sebagainya dilakukan di bawah tatapan publik.  Informasi yang belum diketahui publik sangat dicari. Jika salah seorang mencoba untuk mengakses informasi baru maka yang lainnya akan enggan untuk mengungkapkannya. Jika selama itu diketahui bahwa salah seorang memiliki informasi dan yang lainnya tidak, maka hal itu merupakan prestasi bagi dirinya sendiri (Keenan 1976:218).
Keenan mengklaim bahwa keengganan untuk memberikan informasi yang tepat dalam masyarakat Madagaskar menjadi keengganan umum baik untuk mengidentifikasi individu secara ekplisit maupun untuk membuat pernyataan tentang sekarang atau besok . “Hal ini akan menyesatkan” , Keenan melanjutkan pembicaraannya ”untuk menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “be informatif”  dalam Gricean Maxims” tidak berlaku sama sekali di dalam masyarakat Malagasi:
Kita tidak akan membenarkan dalam mengusulkan bantahan dari “ be informatif” menjadi “be uninformatif” sebagai aksioma lokal. Anggota penutur di masyarakat ini tidak berharap bahwa teman bicara akan menyembunyikan informasi yang diperlukan. Sebaliknya juga  pada umumnya mereka tidak memiliki harapan yang bertentangan bahwa teman bicara akan saling memberikan informasi yang memuaskan satu sama lainnya (Keenan 1976: 224).
Gricean maxim bukan merupakan suatu keharusan, oleh karena itu Gricean maxims hanya dipandang sebagai prinsip-prinsip universal yang mengatur seluruh rentang perilaku percakapan manusia: aturan aturan atau prinsip-prinsip percakapan tampaknya bervariasi secara situasional dalam lintas budaya, seperangkat aturan itu berlaku di setiap budaya tertentu. Hal ini merupakan masalah yang perlu diselidiki secara empiris.
Banyak sarjana yang berusaha menganalisis tradisi Gricean  berpendapat bahwa Gricean maxims itu adalah aturan- aturan yang bersifat universal. Oleh karena itu perlu untuk membalas upaya perelativisasian aturan-aturan itu. Contohnya, Kasher (1982) mengklaim atas pengamatan Keenan mengenai pelanggaran yang nyata terhadap maxims quantity, pelanggaran itu bukan merupakan pelanggaran secara keseluruhan. Menurut Kasher, Keenan belum mempertimbangkan peranan biaya dalam penghindaran pembicara Malagasy dari keinformatifannya. Dalam perkembangan Gricean theory, Kasher menyatakan:
Seorang pembicara yang rasional  boleh memilih untuk bertindak tutur yang tidak hanya mencapai tujuannya yang paling efektif tetapi juga paling tidak masalah biaya, cateris paribus. Sekarang terserah kepada pembicara itu sendiri  untuk menentukan apa yang dianggap sebagai biaya dan apa yang mungkin diabaikan... untuk pembicara Malagasy, komitmen harus dihindarkan... (Kasher 1982: 207).
            Untuk Kasher, contoh yang berlawanan yang diajukan oleh Keenan bukan merupakan apa-apa. Pembicara Malagasi memberikan nilai yang tinggi atas kepemilikan informasi yang tidak dimiliki oleh lawan bicara. Memperhatikan nilai-nilai, biaya sosial dari mengungkapkan informasi menetralkan maxims dari keinformatifannya, dan tidak ada alasan untuk meragukan bahwa “be informatif” adalah benar-benar maxims atau aturan yang harus ditaati- menurut konvensi yang lebih luas di kalangan mereka- orang orang Malagasy.
Keenan pun membalas dengan baik, bagaimanpun dilakukan perumusan kembali aturan-aturan dalam rangka pertanggungjawaban berarti bahwa maxims  ini tidak pernah ada, dan pada kenyataannya adalah dilanggar atau tidak ditaati. Definisi dari Gricean maxims”make your contribution as informative as required for the current purposes of the exchange” and “do not make your contribution more informative than is required” membolehkan beberapa kemungkinkan seperti contoh yang berlawanan milik Keenan untuk dihilangkan dengan memvariasikan parameter yang menjadi syarat tukar pikiran yang saat itu berlangsung. Jadi, jika kita termasuk bagian dari yang pengikut”requirements of the exchange” pembicara menginginkan untuk menghindari tanggung jawab dengan  tidak melepaskan informasi, maxims ini akan tetap bertahan utuh. Apapun yang menjadi perdebatan Keenan dan Kasher, masalah-masalah yang terlibat ini mengilustrasikan sulitnya penerapan aturan atau gricean Maxims yang merupakan cerminan ideal dari pembicaraan, semua ini untuk mengarah pada deskripsi linguistik yang nyata.

  1. Teori Relevansi

Relevansi adalah gagasan yang penting, dalam gagasan Gricean, yang kemudian Grice menyebut (1989: 86) relevansi itu untuk dijelaskan. Sperber dan Wilson (1987,1995,2002) yang bekerja berdasarkan ide dari Gricean ini telah mengembangkan  teori pragmatik penting yang mana hubungan gagasan menggantikan seluruh faktor-faktor lain yang dipertimbangkan oleh Grice. Dalam  bahasan sebelumnya disebutkan bahwa teori Grice berdasar pada pandangan komunikasi intentional-inferensial.  Hal ini berbeda untuk Sperber dan Wilson yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa adalah ostensive-inferencial process: si pembicara secara ostensiv menyediakan  bukti kepada pendengar   dalam bentuk kata-kata yang dikombinasikan dengan konteks, bukti bahasa ini memungkinkan pendengar untuk  menyimpulkan makna  pembicara. Akan tetapi pendengar  tidak melakukan ini dengan asumsi menghibur maksud pembicara dan tidak juga mengunakan ini  untuk menjelaskan pelanggaran-pelanggaran terhadap seperangkat maxims percakapan sebagaimana dalam pendekatan Gricean. Sperber dan Wilson menentang beberapa penafsiran ujaran yang mengasumsikan bahwa pendengar memutuskan arti atau implikasinya dari kata-kata yang di maksud oleh si pembicara dan Sperber dan Wilson mengasumsikan bahwa itu adalah maksud dari ujaran si pembicara yang harus dicapai. Sejumlah kemungkinan makna yang  pembicara maksudkan untuk disampaikan adalah, mereka mengatakan bahwa terlalu jauh dan terlalu besar untuk membuat semacam prosedur yang mungkin (2002:10-11):  pembicara bisa saja bermaksud untuk mengkomunikasi tentang apapun. Selain itu mereka mengeluhkan bahwa Grice’s conversational maxims tidak cukup mempersempit sejumlah kemungkinan tafsiran yang pendengar bisa dapatkan dari ujaran:
Mungkin ada berbagai macam interpretasi yang memenuhi apapun standar kebenaran, keinformasian,  relevansi dan kejelasan yang telah diusulkan atau dipertimbangkan sejauh ini. Teori ini perlu memperbaiki tingkat  fundamental sebelum teori ini dapat bermanfaat dan diterapkan pada kasus tertentu (Sperber dan Wilson 1995: 37).
Sperber dan Wilson lebih mengklaim bahwa ada satu prinsip kognitif yang menyeluruh, yakni prinsip relevansi, yang menentukan cara dimana pendengar menafsirkan ujaran ujaran yang dimaksud oleh pembicara.
Definisi relevansi menurut Sperber and Wilson (lihat e.g. 2002: 14) adalah kepemilikan potensial dari ujaran-ujaran dan fenomena lainnya (peristiwa eksternal,pikiran, ingatan) yang memberikan masukan untuk proses kognitif:
Relevansi yang merupakan masukan bagi individu pada saat tertentu adalah  fungsi positif dari keuntungan kognitif yang memberikan masukan dari proses itu, dan fungsi negatif dari proses itu diperlukan untuk mencapai keuntungan-keuntungan itu (Sperber dan Wilson 2002:14).
Kita bisa mengatakan bahwa relevansi itu  semacam asupan gizi kognitif (Brenhey 2002: 181): sebuah ujaran yang maksimal relevan adalah ujaaran yang menyediakan informasi yang diinginkan (misalnya, dengan menjawab pertanyaan, konfirmasi hipotesis, atau mengoreksi kesalahan: Sperber dan Noveck 2004:5) hal ini adalah cara termudah untuk memahami. Jadi jika anda bertanya siapa nama saya maka saya akan menjawab “Nick”, jawaban saya merupakan maksimal relevant: tidak ada cara lain bahwa saya harus menyampaikan informasi ini seefektif mungkin. Jika di sisi lain, saya menjawab “ nama saya merupakan singkatan  dari nama yang diambil ungkapan kemenangan orang Yunani  “Victory of the people”, maka jawaban saya akan jauh kurang relevan (meskipun masih benar) karena itu merupakan tanggung jawab kamu untuk sungguh- sunguh berusaha menafsirkannya. 
Setiap ujaran untuk Sperber dan Wilson, ‘mengkomunikasikan asumsi awal dari optimal relevansinya masing-masing”(1995: 158).  Ini merupakan prinsip relevansi yang komunikatif. Artinya adalah bahwa pembicara menyiratkan relevansi kata-kata mereka dengan tindakan berbicara: dalam mengatakan sesuatu kepada pendengar, pembicara menyiratkan bahwa ujaran yang paling relevan adalah ketika mereka bisa memproduksi ujaran dalam keadaan tertentu, dan itu paling tidak cukup relevant untuk menjamin perhatian si pendengar. Sperber dan Wilson menempatkan bahwa ada kecenderungan kognitif secara umum untuk memaksimalkan relevansi: manusia mencari informasi dari mana mereka akan dapat keuntungan, kecenderungan ini membuat hal ini menjadi mungkin, setidaknya sampai batas tertentu, untuk memprediksi dan memanipulasi pernyataan mental yang lainnya, termasuk hal-hal yang dihasilkan dari produksi ujaran-ujaran. Dengan demikian, pembicara  akan mencoba untuk menghasilkan ujaran-ujaran yang aptimal relevannya, dalam pengetahuan bahwa ujaran pembicara merupakan sesuatu yang bermanfaat bagi pendengarnya,  dan pendengar menganggap bahwa ujaran yang diberikan  pembicara adalah ujaran yang paling relevan utuk  keadaan itu.
Prinsip-prinsip yang mengatur interpretasi pendengar atas ujaran-ujaran digambarkan dua langakah prosedur pemahaman (Sperber dan Wilson 2002: 18):
  1. Mengikuti jalan usaha minimal untuk menghitung efek kognitif. Khususnya, menguji interpretatif hipotesis (keambiguan, resolusi referensi, implikatur, dan lain-lain) dalam urutan aksesibilitas.
  2. Berhenti ketika harapan relevasi anda sudah memuaskan. 
Ucapan yang paling relevan adalah ujaran yang paling mudah dimengerti. Sejak pembicara diharapkan mengucapkan ujarannya serelevan mungkin, si pendengar membenarkan dalam mengikuti jalan paling tidak melakukan usaha minimal dengan mempertimbangkan penafsiran yang  paling mudah dan jelas dari ujaran pertama pembicara. “Pendengar juga membenarkan”, Sperber dan Wilson melanjutkan,” berhenti terlebih dahulu sebelum puas atas harapan pembicara relevan karena  jika pembicara memproduksi ujaran yang memuaskan praduga penyampaian secara relevan, tidak boleh ada lebih dari satu interpretasi (Sperber dan Wilson 2002: 19). Mari kita lihat contoh bagaimana prosedur pemahaman untuk mempertimbangkan  interpretasi yang  kontekstual dari sebuah ujaran. Perhatikan dialog berikut (diambil dari Sperber dan Wilson 2002: 19):
Peter : Can we trust Jhon to do as we tell him and defend the interests of the     linguistic departement in the University Council?
Mary  : Jhon is a soldier!
Penjelasan Sperber dan Wilson dari langkah-langkah proses yang terlibat di sini adalah mengutip secara penuh:
Peter secara mental merepresentasikan seorang prajurit yang mencakup beberapa atribut (misalnya, patriotisme, rasa tanggung jawab, disiplin) yang semuanya diaktifkan untuk beberapa hal dari pemakaian kata “soldier” yang digunakan oleh Mary. Namun, itu tidak diaktifkan dalam tingkat yang sama. Beberapa atribut  tertentu juga menerima  beberapa aktifasi dari  konteks (dan di dalam keadaan tertentu,dari ucapan Peter untuk meyakinkan, melakukan apa yang dikatakan, membela kepentingan), dan hal ini menjadi akses yang paling mudah. Perbedaan-perbedaan aksesibilitas dari beberapa atribut “soldier” menciptakan perbedaan aksesibilitas implikasi dari berbagai kemungkinan ujaran Mary, seperti terlihat:
  1. John is devoted to his duty.
  2. John willingly follows orders
  3. John does not question authority.
  4. John identifies with the goals of his team.
  5. John is a patriot.
  6. John earns a soldier’s pay.
  7. John is a member of the military.
Mengikuti prosedur pemahaman teori relevansi, Peter menganggap
implikasi ini dari urutan asesibilitas, yang kemudian tiba pada interpretasi yang
memuaskan pengharapannya dari relevansi pada (4d) dan kemudian berhenti disana. Dia bahkan tidak mempertimbangkan lebih lanjut implikasi lain yang mungkin seperti (e) - (g), Mari kita mengevaluasinya sendiri dan kemudian menolaknya (Sperber and Wilson 2002: 19-20).
Sedangkan pada catatan Gricean, seperti catatan pragmatis lainnya- pengenalan  arti harfiah dari ujaran adalah dasar dari interpretasi selanjutnya,  untuk Sperber dan Wilson arti harfiah ini tidak  dipertimbangkan:  Peter hanya menganggap  pada saat itu arti yang paling relevan mungkin dari pernyataan Maria adalah arti yang literal.  Ini adalah Prinsip Relevansi yang oleh karena itu memungkinkan bagian dari informasi yang faktual (ensiklopedik)  tentang konsep SOLDIER untuk dipilih sebagai arti yang relevan  dalam hal ini.
Perhatikan bahwa argumen Sperber dan Wilson tergantung pada implikasi John is a soldier diurutkan dalam cara yang ditunjukkan dalam (4).  Dasar pembenaran mereka untuk peringkat ini adalah bahwa (4a) - (4d) yang lebih mudah diakses dari pada (4e) - (4g) sejak kalimat-kalimat itu sudah diaktifkan oleh konteks sebelumnya. Mereka mengakui, bagaimanapun pertanyaan yang implikasinya  lebih mudah diakses dalam konteks tertentu adalah salah satu yang bisa dibuktikan, dan catatan mereka perlu diuji dengan eksperimen. Sebagaimana mereka menyimpannya  (1995: 138-139), ini tidak cukup untuk menunjukkan informasi yang dapat dibawa dari satu proses konseptual menuju proses
berikutnya, satu hal yang  ingin tahu informasi mana yang  tersimpan di dalam memori jangka pendek, yang  kemudian ditransfer ke memori ensiklopedik, yang kemudian bisa terhapus ', menambahkan bahwa di sini kita belum  memiliki argumen yang resmi dan juga belum memiliki bukti empiris untuk himpunan hipotesis tertentu. Pada  gambaran makna linguistik tradisional makna harfiah selalu menjadi dasar dalam penafsiran: soldier dapat diartikan sebagai  'member of the military’ dan beberapa catatan  penggunaan arti yang sebenarnya harus mengambil arti asli.  Kita mungkin, misalnya, melihat ini sebagai contoh metafora: ujaran  soldier  membangkitkan  arti harfiah 'member of the military’ dan  berdasarkan pengetahuan dunia nyata bahwa anggota militer berhubungan dengan patriotism, team spirit, sense of duty and disciplin, ini semua memungkinkan untuk mengcover kembali ujaran Peter kepada makna metamoforis yang dimaksud oleh Mary.  Kejelasan dari teori relevansi tergantung pada peringkat kejelasan secara independen  dari aksesibilitas bagian- bagian informasi yang berbeda dikaitkan dengan ekspresi.
Bagaimana pun ada beberapa bukti eksperimental yang sesuai dengan claimnya Sperber dan Wilson bahwa makna harfiah dari “soldier” tidak bisa berlaku di sini: Gibbs (2002), misalnya survei sejumlah bukti dalam mendukung pandangan “akses langsung” di dalam penafsiran. Berdasarkan pandangan  ini, pembicara berbicara secara langsung menuju arti yang diinginkan tanpa melalui langkah awal yakni fungsi arti literal (untuk pembahasan yang lebih mendalam dan mendukung kesimpulan, lihat Glucksberg 2004). Bukti ini memiliki implikasi yang cukup untuk seluruh pandangan baik untuk arti literal maupun arti non literal. Untuk saat ini, kami hanya meringkas teorinya Sperber dan Wilson dengan mengamati bahwa postulasi dari prinsip kognitif tunggal adalah relevansi sebagai pusat pertimbangan di dalam menafsirkan ujaran secara bersamaan lebih komprehensif dan teori perilaku komunikatif kurang diverifikasi dibandingkan dengan pendekatan Gricean yang dimaksudkan untuk menggantikan. Seperti yang telah kita lihat daftar yang lebih rinci dari gricean maxims memungkinkan untuk kemungkinan diskonfirmasi empiris tertentu dari prinsip-prinsip individual (pembatasan masalah metodologis seperti yang dibahas dalam bagian 4.5 di atas). Tapi prinsip relevansi tunggal umum miliknya Sperber dan Wilson itu jauh lebih sulit untuk dijabarkan dalam rincian deskripsi empiris dari penggunaan bahasa baik lintas linguistik ataupun psycholinguistik. Jika relevansi dinilai berdasarkan pertimbangan upaya kognitif, bagaiman kita bisa mengukurnya tanpa wawasan yang spesifik tentang rincian fungsi kognitif. Bagaimana kita bisa menentukan peringkat kemungkinan penafsiran ujaran dengan menghormati aksesibilitas mereka tanpa penyelidikan langsung dari psikologi pembicara yang bersangkutan?
Teorinya Sperber dan Wilson jauh dari ahli teori yang karyanya hanya menimbulkan pertanyaan semacam ini, dan bidang yang baru pun muncul dari eksperimental pragmatik (Noveck dan Sperber 2004) yang menjanjikan untuk memenuhi sejumlah jawaban. Secara khusus percobaan-percobaan yang dilaporkan di Van der Henst dan Sperber (2004) memberikan dukungan atas gagasan prinsip-prinsip relevansi ini yang pada kenyataanya berlaku di dalam domain tertentu dari psikologi. Bagaimana pun masih ada jalan panjang. Seperti Van der Henst dan Sperber sendiri melaluinya (2004: 169), “mungkin itu merupakan eksperimen yang lebih sukses yang banyak melibatkan berbagai aspek kognisi dan komunikasi untuk mendekati sebuah percobaan yang menarik untuk membuktikan teori relevansi itu sendiri.”
Pada tingkat yang lebih umum, peranggapan  dasar teori makna  seperti yang dibahas dalam bab ini telah menjadi subjek dari kritik yang cukup besar. Mey misalnya, mengkritik teori relevansi untuk perlakuannya terhadap pembicara dan pendengar sebagai “individu spontan yang secara sadar melakukan masalah-masalah unik  bukan agen sosial yang bekerja dalam konvensi yang sudah ada sebelumnya dengan sumber daya yang tersedia untuk mereka yang sebenarnya mereka sendiri tidak sadar” (1988: 294). Kritik ini bisa sama baiknya akan maju melawan beberapa pendekatan untuk berkomunikasi dalam tradisi Grice. Dalam fokus mereka pada interaksi rasional antara individu rasional otonom, seperti beberapa teori bisa diisi dengan mengabaikan kedua alam bawah sadar dan faktor penentu sosial dari perilaku linguistik.Tradisi-tradisi ini sebagian besar mengabaikan cara-cara dalam apa yang kita katakan dan apa yang kita ambil dari orang lain untuk maksud tersebut dibatasi oleh berbagai macam faktor baik di luar cakrawala keinginan pribadi kita secara sadar, termasuk harapan sosial dan motivasi tidak sadar untuk menyebutkan hanya dua yang paling penting. Apakah pada kenyataannya kita berbicara hanya dengan satu maksud? Bisakah kita selalu mengatakan apa itu? Apakah kita selalu bereaksi terhadap ucapan-ucapan orang lain dengan mencoba menentukan keinginan mereka, atau proposisi spesifik  yang paling relevan? Pada tingkat sadar, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah jelas-jelas “tidak”. Di tingkat bawah sadar  jawabannya jauh kurang jelas. Banyak ahli bahasa, bagaimana pun akan merasa bahwa meskipun masalah ini, gambaran inferencial dari komunikasi merupakan pendekatan terbaik yang saat ini harus kita pertanyakan dalam  hubungan antara makna dan penggunaanya. Terlepas dari masalah yang dihadapi Gricean dan hubungannya dengan pendekatan-pendekatan lain , segala sesuatu yang berada dalam pandangan mereka diasumsikan oleh sebagian besar peneliti sebagai hakikat bahasa.


  1. Sematik dan Pragmatik
Penelitian tentang pragmatik muncul baru-baru ini dalam linguistik.  Menginvestigasi makna tanpa mempelajari tata bahasa tidak mungkin. Studi tentang pragmatik selalu dianggap sebagai bagian central dari belajar bahasa, bahkan sebelumya pragmatik merupakan subdisiplin ilmu yang terpisah (lihat bab 1).  Pragmatik yang memfokuskan diri  pada konteks di dalam bahasa menimbulkan tantangan yang signifikan untuk linguistik semantik. Sebagai disiplin ilmu yang empiris, linguistik tidak mengatur untuk mempelajari bahasa yang benar-benar untuk digunakan, selanjutnya apa yang seharusnya dipelajari bahasa?  Jika semantik berfokus pada abstrak, ideal, makna bebas konteks dari ekspresi linguistik, apakah ada bukti yang asli untuk arti yang lain dan kata-kata yang digunakan dalam wacana yang sebenarnya?  Dan jika hipotesis makna seharusnya menjelaskan bagaimana kata-kata digunakan,  tidak  merupakan kesenjangan antara makna dan penggunaan di dalam studi gramatik menunjukan bahwa ada sesuatu yang salah dengan postulat yang sangat abstrak, ideal, makna bebas konteks di dalam penempatan pertama?
Pertimbangan-pertimbangan yang seperti ini membawa beberapa ahli pragmatis  untuk melihat pertanyaan –pertanyaan pragmatik, bukan pertanyaan semantik, sebagai pusat  dalam setiap penelitian makna. Orang pertama yang menyadari pentingnya pertanyaan-pertanyaan pragmatik adalah seorang filsuf Rudolph Carnap. Untuk Carnap fakta-fakta pragmatik menjadi pusat sejak fakta-fakta itu ditemukan sebelum beberapa kemungkinan semantik  dalam penyelidikan empiris dari bahasa yang belum dikenal:
Misalkan kita ingin mempelajari sifat semantik dan dan sintaksis bahasa Eskimo yang sebelumnya tidak diteliti. Jelas, tidak ada cara lain selain pertama kali mengamati kebiasaaan berbicara  orang-orang yang menggunakan bahasa  itu. Hanya setelah penemuan melalui pengamatan fakta-fakta pragmatik bahwa orang-orang memiliki kebiasaan menggunakan kata “igloo” ketika mereka bermaksud untuk merujuk  sebuah rumah kita dalam posisi untuk menyebut pernyataan semantik “igloo” berarti (menunjuk) rumah  dan pernyataan sintaksis “igloo” sebagai predikat. Dengan cara ini semua pengetahuan di dalam lingkup deskriptif semantik dan deskriptif sintax di dasarkan pada pengetahuan sebelumnya di dalam pragmatik... pragmatik adalah dasar untuk semua linguistik. (Carnap 1942: 21 italic original) .
Seperti kita amati dibeberapa titik, pertimbangan pragmatis seperti tugasnya referensi, lingkup interpretasi dan implikatur seperti membaca sementara yang kemudian dapat masuk ke dalam kebenaran kondisi dari ucapan. Bahkan pada pendekatan kebenaran bersyarat ketat untuk memaknai, maka batas antara semantik dan pragmatik adalah berhgpori: tindakan-tindakan dianggap sebagai prototypically bagian dari domain pragmatik yang diperlukan untuk perhitungan makna kebenaran kondisional. Interpenetration dari semantik dan pragmatik juga berlaku dalam domain tindak tutur. Sebagaimana dicatat oleh  Strawson (1971: 150) di dalam ujaran informatif seperti  I apologize, makna dan daya illocutionari adalah co-extensive: makna dari I apologize adalah bahwa pembicara melakukan tindak tutur minta maaf. Dalam semantik lexical, juga, penolakan terhadap perbedaan kamus enslikopedi sama dengan penolakan terhadap pemisahan antara semantik dan pragmatik. Jika setiap bagian dari pengetahuan ensiklopedia menjadi bahasa yang relevan, akan tampak sedikit alasan untuk melihat beberapa bagian makna dari pengetahuan kamus, diatur oleh proses semantik, dan yang lainnya  merupakan bagian dari pengetahuan ensiklopedia yang diatur oleh proses pragmatik.
Interpenetrasi antara semantik dan pragmatik membawa beberapa sarjana seperti Sperber dan Wilson untuk memikirkan kembali sifat komunikasi linguistik secara umum. Pada pandangan tradisional bahasa di dalam komunikasi terdiri dari definite  content: proposisi tertentu  baik atau tidak baik dikomunikasikan dengan ucapan yang diberikan; proposisi yang lain, pada gilirannya mungkin atau tidak mungkin tersirat di dalam proposisi tertentu, akan tetapi jika proposisi lain tersirat dalam proposisi tertentu, ini berarti bahwa proposisi yang lain tidak dikomunikasikan secara spesifik. Grice sudah mempertanyakan pandangan ini: itu tidak mungkin menurut dia, untuk:
Menyusun test yang meyakinkan untuk menjawab pertanyaan apakah implikatur pertanyaan itu ada atau tidak, test untuk memutuskan apakah proposisi yang diberikan p  yang biasanya merupakan bagian yang sangat penting dari ujaran kalimat tertentu pada waktu berlangsungnya percakapan (lebih umum nonkonvensional) implicatum tuturan, atau lebih tepatnya merupakan sebuah elemen dalam makna kalimat konvensional dalam pertanyaan (Grice 1989: 42-43).

Sementara kita tampaknya bisa bereaksi terhadap implikasi-implikasi dalam wacana, itu tampaknya tidak mungkin bagi kita untuk merumuskan setiap tes mutlak untuk membedakan  antara apa makna dari suatu ekspresi dan apa impikasinya:  oleh karena itu batas antara semantik dan pragmatik selalu berubah-ubah.
Sperber dan Wilson berbagi mengenai pandangan Grice. Untuk Sperber dan Wilson, komunikasi adalah masalah degree.  Setiap tuturan menggambarkan satu perangkat  proposisi tertentu untuk jadi perhatian pendengar, lemahnya pengaktifan sejumlah bagian pengetahuan ensiklopedia, pendengar akan menerapkan prosedur pemahaman untuk menentukan  mana  yang jadi inti maksud   pembicara. Ini tidak masuk akal, dalam gambaran ini, untuk berbicara tentang proposisi tunggal yang secara unik disampaikan oleh sebuah tuturan: makna sebuah tuturan adalah selalu merupakan produk pilihan dari seperangkat berbagai pilihan, dan faktor-faktor yang mengarah ke pilihan satu penafsiran hanya dapat dimengerti dengan latar belakang penafsiran lain yang dipertimbangkan atau ditolak oleh si pendengar.  Mengadopsi gambaran ini memungkinkan kita untuk menghindari kekeliruan yang dalam komunikasi Sperber dan Wilson menyebutnya dengan strong communication (Sperber dan Wilson): yaitu komunikasi yang tunggal, definite content disampaikan secara unik. Ada  lebih banyak ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam bahasa nyata dari pada gambaran  anjuran idealnya, dan sebaliknya  menyarankan untuk menyumbang komunikasi dengan ketelitian yang palsu.



DAFTAR PUSTAKA


Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Parera,  J.D.  2004. Teori Semantik (edisi kedua).  Jakarta: Erlangga.
Riemer, Nick. 20101. Introducing Semantics. Cambridge: University Press
Wijana, I dewa Putu Wijana & Rohmadi, Muhammad . 2009.  Analisis Wacana Prakmatik. Surakarta: Yuma Pustaka.




                                                                                           


[1] Nick Riemer, Introducing Semantics (Cambridge: University Press, 2010), hal. 108.
[2] I dewa Putu Wijana & Muhammad Rohmadi, Analisis Wacana Prakmatik (Surakarta: Yuma Pustaka, 2009), hal. 21.
[3] J.D. Parera, Teori Semantik (edisi kedua) (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 268.

Tidak ada komentar: