PUTRI
KAJIAN PENELITIAN ANTROPOLOGI SASTRA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori, Apresiasi dan Pengajaran sastra yang
diampu oleh Dr. Novi Anoegrajekti, M. Hum. dan Dr. Zuriyati, M.Pd.
Ajeng Tina Mulyana
Ainiyah Ekowati
Khamdiyah
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA/A
PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang
Mempelajari budaya suatu masyarakat tidak harus terjun ke dalam masyarakat dengan menggali karya sarta atau novel dapat pula diperoleh pandangan-pandangan suatu kebudayaan yang hidup disuatu masyarakat tertentu.
Sastra merupakan bagian integral budaya. Pada dasarnya, masyarakat itu sendiri yang member makna terhadap sastra, bukan sebaliknya. Sastra juga merupakan bagian kesenian, sedangkan kesenian sendiri merupakan bagian dari budaya. Artinya, sebagai bagian budaya secara keseluruhan, manfaat karya seni diperoleh dengan menikmati unsur-unsur keindahan. Karya seni juga member informasi dalam berbagai bentuk, seperti adat istiadat, konflik sosial, pola-pola perilaku, dan sejarah.
Hakikat karya yang mempunyai kekhasan sebagai ilmu sastra akibat aktifitas imajinasi. Hakikat karya sastra sebagi dunia otonom menyebabkan karya sastra berhak untuk dianalisis terlepas dari latar belakang sosial yang menghasilkannya. Sehubungan dengan hakikat otonomi maka imajinasi, dengan berbagai unsur yang berhasil untuk diciptakan, berhak untuk dianalisis secara ilmiah, sebagai unsur-unsur dalam masyarakat sesungguhnya.
Unsur budaya dapat dipahami oleh manusia dengan Pikiran dan perasaan, yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsur-unsur, sebab akibat, dan seterusnya. Unsur-unsur budaya dalam novel Putri akan dikaji dengan pendekatan antropologi sastra sebagai studi karya sastra dengan relevansi manusia. Oleh karena itu, sebuah novel dianggap memiliki kualitas yang sama dengan masyarakat tertentu.
2.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Apakah dapat didesripsikan dimensi bahasa, religi, mitos, hukum, adat istiadat menurut pandangan masyarakat Meliling?
2. Bagaimana pandangan Putri terhadap sebuah tradisi baru?
2.3 Tujuan
Berdasarkan masalah yang dibahasa dalam kajian novel ini, maka tujuan yang hendak dicapai, yaitu mendeskripsikan unsur antropologi, baik bahasa, religi, mitos, hukum, maupun adat istiadat yang terdapat dalam novel Putri.
2.4 Landasan Teori
Penelitian antropologi sastra adalah celah baru penelitian sastra, memadukan dua disiplin ilmu yaitu antropologi dan sastra adalah sama-sama membicarakan tentang manusia.
Penilitian sastra menitikberatkan pada dua hal pertama meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya, kedua, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat.
Penelitian karya-karya etnografis estetis, yang bersifat literer dapat diteliti dengan paradigm penelitian sastra. Penelitian dapat memusatkan pada tokoh tokoh dan gaya hidup mereka serta kehidupannya secara menyeluruh. Budaya masyarakat yang tergambar dalam karya etnografi tersebut diungkap melalui teori resepsi (cermin).
Bruner (1993:1) menyugestikan bahwa makna sebuah fenomena penelitian budaya maupun sastra bersifat secara radikal akan bersifat plural, terbuka dan kadang-kadang memang bersifat politis.
Ridington (1993: 49) Penelitian etnografis adalah sebuah penelitian yang erat kaitannya dengan sebuah tradisi. Antropologi sastra pun merupakan kajian sastra yang menekakan pada budaya masa lalu. Warisan budaya tersebut dapat terpantul dalam karya-karya sastra klasik dan modern. Karenanya, peneliti antropologi sastra dapat mengkaji keduanya dalam bentuk paparan etnografi.
Analisis antropologi sastra mengungkap hal-hal antara lain:
(1) kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang masih dilakukan dalam sebuah cipta sastra. Kebiasaan leluhur melakuan tradisi seperti mengucap mantra-mantra dan lain-lain
(2) Penelitian akan mengungkap akar tradisi atau subkultur serta kepercayaan seorang penulis yang terpantul dalam karya sastra. Dalam kaitan tema-tema tradisional yang diwariskan turun temurun akan menjadi perhatian tersendiri
(3) Kajian juga dapat diarahkan pada aspek penikmat sastra etnografis, mengapa mereka sangat taat menjalankan pesan-pesan yang ada dalam karya sastra misalkan saja dalam novel Putri, mengapa Orang Bali begitu taat menjalankan adat kebiasaan puik ( semacam institusi yang mengakhiri pertengkarana)
(4) Peneliti juga perlu memperhatikan bagaimana proses pewarisan sastra tradisional dari waktu ke waktu
(5) Kajian di arahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya masyarakat yang mengitari karya sastra tersebut
(6) Perlu dilakukan kajian terhadap symbol mitologi dan pola fikir masyarakat.
2.5 Metode Penelitian
Penelitian ini sebagaimana penelitian antropologi lainnya yaitu kajian penelitian yang diarahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya masyarakat, pola fikir masyarakat, tradisi pewarisan kebudayaan dari waktu ke waktu dan masih dilakukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Ada beberapa unsur antropologi yang terdapat dalam novel Putri, yaitu bahasa, religi, mitos,hukum, adat istiadat, dan susastra.
2.1 Pandangan Masyarakat Meliling
2.1.1 Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam novel Putri terdiri dari bahasa sehari-hari di Bali. Bahasa yang mencerminkan ciri khas budaya masyarakat tertentu akan tampak dari istilah-istilah kedaerahan yang dimiliki budaya lain. Dalam novel Putri istilah bahasa yang digunakan menggambarkan kebudayaan Bali. Bahasa keseharian tersebut adalah sebagai berikut:
Balean
Balean berarti dukun. Kutipan yang mendukung adalah
Tetapi Nenek Putri berpikir lain. Diam-diam ia pergi ke balean. Baginya semua itu pasti ulah Men Sadra yang sudah divonisnya sebagai musuh dalam selimut.(50)
Beli
Beli adalah panggilan kepada kakak. Sedangkan dalam bahasa keseharian di luar Bali bermakna kegiatan membeli. Kutipan yang mendukung.
“Saya disuruh Bapa ngangon sapi, Beli Sadra mau menolong?”(100)
“Saya lagi kotor Beli, saya ke sungai dulu.”(100,119)
Cetik
Cetik artinya racun yang digunakan untuk mencelakai orang lain lewat makanan atau minuman. Kutipan yang mendukung adalah
“Kamu jangan berani-berani memfitnah, bilang aku bisa ngeleak. Awas, aku cetik kamu, baru tahu rasa!”
Putri tersirap mendengar ancaman itu. Cetik adalah bahasa hitam.(50) di halaman 51,
Dadong
Dadong berarti nenek. Kutipan yang mendukung.
“Kalau Dadong dan Meme tidak mau kasih, kalau bapa dan Mbok tidak mau kasih, lebih baik Nyoman mati, begitu kata Nyoman sebelum sakit,” ujar Bu Niati,guru kelas Nyoman. (143)
Kasih
Kasih berarti berbaikan. Apabila ada pertengkaran, maka harus diakhiri dengan kasih. Kutipan yang mendukung.
“Kalau Dadong dan Meme tidak mau kasih, kalau bapa dan Mbok tidak mau kasih, lebih baik Nyoman mati, begitu kata Nyoman sebelum sakit,” ujar Bu Niati,guru kelas Nyoman. (143)
Leak
Leak berarti setan. Kutipan yang mendukung.
Beberapa orang menolong Putri. Di antaranya I Sadra, yang masih sempat-sempat mencuri meremas dada Putri. Putri mengelak, menepiskan tangan Sadra sambil memaki spontan:
“Leak!”(116)
Luh
Luh adalah panggilan sayang kepada anak perempuan. Kutipan yang mendukung.
“Luh, ada yang Bapa mau bicarakan,” kata mangku Puseh akhirnya setelah sebulan tak bicara. (111,112)
Mangku
Mangku adalah pendeta yang bukan dari kasta brahmana. Mangku harus mendharmakan hidupnya untuk masyarakat demi persatuan. Selain itu, ia juga dianggap sebagai tokoh masyarakat yang disegani. Kutipan yang mendukung.
Mangku Puseh meladeni dengan sabar. (40,111,112,113,114,115)
Meme
Meme adalah panggilan kepada orang tua, ibu. Panggilan singkatnya adalah ‘Men’. Contonya Men Putri yang berarti ibunya Putri. Kutipan yang mendukung.
“Tak usah pikirkan Meme,” kata Mangku Puseh, ketika Putri tampak ragu-ragu berangkat lagi ke Denpasar.(48,112,116)
Men Putri amat pedih setelah kematian made.(48,115)
Men Sadra keluar dari rumah. Matanya berapi-api. (116)
Paice
Paice berarti pemberian ikhlas dari orang yang lebih tinggi. Hal tersebut, biasa dilakukan oleh para bangsawan kepada Mangku atau masyarakat Bali. Kutipan yang mendukung.
Bapa berterima kasih dan menrima baik peice motor itu karena jelas akan memperlancar tugas-tugas Luh. .......”(50)
Puik
Puik adalah semacam institusi yang mengakhiri pertengkaran. Kutipan yang mendukung.
Putri kemudian mencoba mencari alasan lain. Setelah diskusi dengan mantri dan guru, Putri menyadari bahwa puik yang berkecamuk di rumah sudah menyiksa Nyoman. Satu-satunya jalan adalah kasih. (143)
Puri
Puri merupakan kompleks bangsawan. Setiap gadis di Meliling berharap dipersunting atau menjadi pembantu di sana. Kutipan yang mendukung.
“Ayah saya ingin supaya kamu kembali ke Puri, karena ibu saya sudah terlalu tua untuk mengurus dia.” (184)
Tedun
Tedun artinya kemasukan roh. Apabila ada seseorang yang marah tak karuan, maka ia disebut tedun/kemasukan roh. Kutipan yang mendukung
Tiga hari setelah kematian Made, tiba-tiba ibu Putri tedun.(40)
2.1.2 Simbol mitologi dan pola pikir masyarakat
Makna malu
“Arti malu sulit dirumuskan. Kadang malu benar-benar adalah rasa segan dan rendah diri. Orang menghindar dan lari untuk menyembunyikan dirinya. Mukanya terasa sudah tercoreng dalam sehingga ia melakukan hal-hal yang menakjubkan, yang tak terbayangkan oleh orang lain.” (44)
“Seringkali malu bisa merupakan tanda keperkasaan dan secara cerdas seringkali dipakai sebagai alasan untuk menolak berbagai hal. Dengan alasan malu sudah berkhianat kepada keluarga, seseorang bisa tidak pernah pulang kerumahnya, yang sebenarnya sangat mengharapkan kehadirannya. Sebenarnya ia hanya tak mau berbagi sukses dengan keluarganya yang masih bergulat dengan lumpur dan lintah di sawah. Daripada harus terpanggil untuk ikut menangani kemiskinan desa, ia merasa lebih produktif tinggal dikota dirumah gedongnya.” (45)
Makna malu pada masyarakat Meliling, Bali merupakan tanda keperkasaan dalam menolak aib atau berbagai hal. Akan tetapi dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, malu bermakna rendah hati.
Makna rambut
“Rambut bukan hanya rambut. Mahkota ternyata bukan hanya mahkota. Simbol dengan demikian juga bukan hanya sekedar simbol. Semuanya itu adalah segumpal energi yang membuat baik orang yang memakainya maupun orang-orang yang dihadapinya mendapatkan makna berbeda. “ (64-65)
Makna bunga
“Bunga adalah sebuah symbol keindahan. Visualisasi dari harmoni , yang merupakan filsafat mendasar dari kehidupan timur, “kata Joni. ” Dengan meletakan bunga dikepala, kita mengingatkan kepada diri kita sendiri agar selalu menjadi bagian dari harmoni. Karena harmoni tak cukup hanya dicita-citakan. Harmoni adalah pengertian dinamis. Artinya setiap orang punya kewajiban untuk berpartisipasi. Tanpa partisipasi aktif dari setiap individu, tak akan mungkin hadir harmoni. Jadi harmoni bukan lagi semacam hadiah alam kepada manusia, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan, dibina, dan ditumbuhkan dalam diri setiap masyarakat. Dan kami memutuskan untuk memilih bunga sebagai konfigurasinya, karena dapat dipetik dengan mudah serta murah dimana saja. “ (68-69)
Makna ksatria
“Adat yang pada umumnya secara otomatis menunjuk orang lain sebagai pemikul tugas-tugas, supaya seorang raja tetap menjadi raja didalam hidupnya. Kekesatriaan menjadi status yang mendistribusikan hak-hak seorang bos, sehingga sosok kesatria berubah menjadi patung pemalas yang rakus. “ (327)
“ Pemahaman yang sudah keliru tentang konsep kesatria itu harus didaur ulang. Kesatria adalah sebuah konsep, bukan kelompok keturunan. Seorang kesatria dalam tradisi baru adalah seorang yang berdiri didepan rakyat banyak, melawan segala penderitaan masyarakat, dengan jiwa raganya.” (327-328)
2.1.3 Religi
Unsur religi dalam novel Putri merupakan aspek yang menonjol dalam pengenalan budaya Bali kepada pembaca. Unsur ini berkaitan dengan unsur budaya karena kepercayaan ini dianut secara turun temurun sehingga menjadi budaya masyarakatnya. Unsur religi dalam novel ini terdapat pada saat upacara, yaitu diantaranya:
Upacara penebusan bagi orang yang telah tiada
Setelah kematian Made, Men Putri sakit dan sering kerasukan roh Made. Men Putri belum terima dengan kematian Made yang mengenaskan. Oleh karena itu, mangku akan mengadakan upacara penebusan Made. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Ia berjanji akan mengajak keluarga menyelenggarakan semacam upaca penebusan melapangkan jalan Made. (hlm. 42)
Upacara penebusan orang yang telah tiada di Meliling, Bali dilakukan setiap ada orang yang meninggal guna melapangkan jalannya menuju ketenangan, bagi yang masih hidup ataupun yang telah tiada.
Upacara Pelukatan
Nyoman pergi dari rumah dan tidak kembali. Mangku dan keluarga sibuk mencarinya sehingga ditemukan ia berada di atas pohon yang tinggi karena Nyoman dipinjam oleh leluhur. Untuk mengembalikannya, maka harus diadakan upacara Pelukatan.
Dukun mengatakan bahwa ada leluhur yang meminjam badan Nyoman, karena ada beberapa hal yang tidak disukainya sudah terjadi di dalam rumah tangga. Tidak akan pulih sebelum ada upacara pelukatan.
Meliling, Bali digambarkan sangat kental akan kepercayaan terhadap hal-hal gaib.
Upacara potong gigi/Ngeraja
Nyoman beranjak dewasa dan sudah mulai menstruasi, seperti yang dialami kakanya Putri. Untuk menandakan bahwa putrinya sudah dewasa dan sudah memiliki tanggung jawab, maka diadakan upacara Ngeraja, yaitu upacara potong gigi.
Dalam keadaan seperti itu, Men Putri muncul, dengan gigih mendesak untuk menandai saat tutug kelih (menstruasi) Nyoman dengan melakukan upacara potong gigi.
Perayaan Nyepi orang Bali
Pada tahun baru Caka yang disebut hari Nyepi, orang Bali mati geni. Tidak menyalakan api. ..... tidak ada kesibukan fisik.
Selain upacara yang dilakukan sebagai unsur religi dan budaya, terdapat kepercayaan bahwa anak lelaki itu penerus darah yang akan menggantikan ayahnya menjadi Mangku di Meliling.
Perempuan tua itu masih terpaku pada tradisi yang menganggap anak lelaki adalah penerus darah.(42)
Hidup bagi Mangku Puseh adalah dharma.
Mangku adalah seorang pendeta. Ia harus mendharmakan hidupnya untuk masyarakat dan mengubur segala mimpi serta keinginan pribadinya. Bahkan keturunannya, anak laki-laki, harus menjadi penerusnya sebagai Mangku. Akan tetapi, Made sebagai putra satu-satunya telah tiada. Oleh karena itu, Putri atau Nyoman harus meneruskan pengabdian ayahnya, Mangku Puseh.
Mengenal sistem kasta
Perbedaan status sosial di Meliling, Bali ditandai dengan kasta. Kasta merupakan tingkatan strata sosial yang membatasi masyarakatnya.
Namanya juga sudah diperpanjang dengan I Gusti Made, gelar kasta satu kelas di atas kastanya, yang konon dibelinya dari seorang makelar silsilah.
Kepercayaan terhadap bantuan makhluk halus.
Men Sadra benci terhadap masyarakat Meliling, karena itu ia berdoa di Pura agar keinginanya terkabul.
Malam-malam Men Sadra membawa canang ke pura dan berdoa memohon supaya orang Meliling semuanya musnah dimakan gerebug.
Pujian difungsikan sebagai senjata ampuh untuk meredam agar perusak-perusak itu tidak terlalu jahat.
Kalau Men Putri menyentuh kau yang berisi boreh, nenek Putri akan meniup-niupnya dulu sebelum mau menyentuhnya. Seakan-akan ia menghilangkan aroma dan aura orang yang tidak ingin diajaknya berkomunikasi.
Keistimewaan puri bagi masyarakat Meliling.
Puri merupakan tempat yang terpenting bagi masyarakat Meliling. Mereka mengagungkankan Puri. Mereka rela melakukan apa saja untuk Puri. Puri bagi mereka adalah surga di dunia nyata karena orang yang masuk ke sana akan sejahtera hidupnya, tak kekurangan apa pun.
Segala-galanya untuk kejayaan Puri. Dan siapa yang terjamah oleh Puri bagaikan terangkat ke permukaan lebih istimewa dari yang lain. (135)
Masyarakat menempatkan Putri sebagai cahaya dalam kegelapan. Mereka pun terlanjur melukiskan sebagai sebuah surga dalam alam nyata.
Tradisi di Puri
Orang yang hidup di Puri adalah bangsawan. Mereka amat berpengaruh di masyarakat. Bangsawan laki-laki memiliki beberapa istri.
Bangsawan-bangsawan itu kalau makan tidak pernah benar-benar menghabiskan isi piring makanannya. Tetapi kemudian ia tahu, itu dimaksudkan untuk berbagi dengan para penyeroan.(137)
Pemberian paice yang dilakukan masyarakat Bali
Peice adalah pemberian ikhlas dari orang yang lebih tinggi. Hal tersebut dilakukan oleh bangsawan kepada Mangku atau masyarakat Bali. Mereka melakukannya dengan memberi barang atau uang. Rakyat kecil pun bisa melakukan paice seperti Putri, yaitu menyisakan sedikit makanan di piring untuk butho-butho (makhluk halus). Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
“Di dalam kehidupan sehari-hari kita juga meniru paice itu dengan selalu menyisakan sedikit makanan di atas tekor kalau kita makan,” bisik Putri kepada bapaknya. “sebagai pemberian kepada butho-butho yang tidak keliatan .....”
“Ratu Agung Wikan, mungkin tidak sepenuhnya menjalankan konsep piece. Ia bisa jadi terpengaruh oleh orang Amerika yang membeli pelayanan dengan uang tip....” (137)
2.1.4 Hukum
Belum adanya badan yang mengatur hukum dalam masyarakat. Segala sesuatu yang menurut tokoh tidak dapat diselesaikan atau tidak ditemukan jalan keluar dari permasalahan tersebut, ditempuh dengan jalan pembunuhan.
“Kamu jangan berani-berani memfitnah, bilang aku bisa ngeleak. Awas aku cetik kamu baru tahu rasa!”
Putri tersirap mendengar ancaman itu. Cetik adalah bahasa hitam. Pembunuhan keji dengan racun yang dicampurkan diam-diam ke dalam makanan atau minuman itu merupakan pembunuhan oleh pembunuh bayaran di desa. Itu dilakukan sejak dulu sebagai jalan terakhir menyelesaikan pertengkaran. Orang yang termakan cetik mati secara mengenaskan. Dan pembunuhnya hampir tak pernah dapat diseret, karena sulit membuktikannya”(51)
Putri masih mencoba untuk berdiplomasi, tetapi Nyoman udah tidak sabar. Ia terus jalan menuju ke pintu keluar sambil menggendong anaknya. Waktu itulah Pan Sukada, ayah Made Sukada, lari ke dalam rumah. Ketika keluar kembali, terhunus pengrupak. Ia bergegas mendahului Nyoman, menghadang di depan pintu. Pengrupak-nya terhunus, siap untuk menebas (354-355)
2.1.5 Adat istiadat
Jika dilihat dari kajian Antropologi, maka novel Putri karya Putu Wijaya sangat kental dengan penggambaran budaya Bali. Hal itu bisa terlihat dari kebiasan-kebiasaan yang keluarga Putri lakukan serta masyarakat Bali, warga Meliling khususnya.
Pertama, terdapat ulasan mengenai novel Putri yang mengungkapkan bahwa di dalamnya kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang masih dilakukan dan terjadi perbenturan nilai budaya dalam peradaban manusia. Hal ini sebagaimana tertulis dalam kutipan novel sebagai berikut:
“Ketika menjadi mahasiswi Fakultas Sastra Udayana, ia seperti membawa beban. Harus berfikir lebih rasional dari orang-orang sekitarnya. Waktu hal itu dengan buru-buru dilaksanakannya, ia tiba-tiba dibenci. Penduduk Meliling, yang rata-rata petani, seakan tak setuju kalau desa mereka digurui oleh seorang perempuan. Walaupun perempuan itu anak Mangku Puseh.”(3)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Penduduk Meliling tidak bisa dengan tiba-tiba menerima pembaharuan apalagi seorang perempuan yang melakukan pembaharuan tersebut. Hal tersebut diperkuat oleh kutipan berikut:
“Putri sebenarnya bukan seorang pemberontak. Ia justru penuh dengan kompromi. Yang ingin ia lakukan terutama menunjukkan bahwa penduduk Meliling bukan hanya petani. Karena ternyata, meskipun turun-temurun merupakan keluarga petani, banyak anak muda yang sudah tak cocok lagi bertani. Mereka menjadi petani yang malas dan akhirnya gagal. Sawah mereka berangsur-angsur rusak dan mandul. Banyak yang sudah dijual oleh orang luar. Lalu di tanah itu berdiri warung, bengkel, dan sebagainya. Sayang sekali Meliling yang semula begitu subur tersohor sebagai gudang beras, makin lama makin menjadi daerah minus.”(4)
“Kita ini petani, semua kita harus mahir bertani, masak kita dilarang bertani” kata mereka. “Aku kalau jadi anak Jero Mangku Puseh, aku juga bisa ngomong begitu. Coba dia seperti kita yang tidak punya apa-apa kecuali pacul nanti baru tahu rasa!”(4-5)
“Tapi betapapun rendah suaranya dalam mengatakan pendapat itu, makin banyak saja yang sirik. Putri dianggap membawa wabah ke dalam desa, menghasut pemuda-pemuda desa agar berhenti bertani.”(4)
Novel ini juga menggambarkan kekaguman atas suatu kekuasaan.
“Men sadra termasuk paling gondok kepada Putri. Bukan saja karena sekolah keempat anaknya berantakan, tetapi juga karena Putri dianggap penghalang pernikahan anak perempuannya dengan Tu Agung. I Gusti Ngurah Agung dari Puri Puncak di Tabanan-idola gadis-gadis desa Meliling-lebih bersimpati pada Putri. Tetapi mungkin juga karena warisan. Meskipun sudah melalui bagian yang diterima suaminya tak adil. Sebagai anak tertua, ia menganggap Pan Sadra, suaminya, berhak mewarisi seluruh tanah kakek putri.(7)
“Adik ibunya menikah dengan salah seorang ratu di Puri Puncak. Bagi kebanyakan warga Meliling, itu merupakan kehormatan dan kebanggaan, karena berarti strata sosial naik. Tetapi bagi I Seruni, adik kndung Men Putri, pernikahan itu neraka. Ia dijadikan istri ketiga. Sebagai istri muda ia memang sempat menikmati posisinya selama setengah tahun. Setelah itu ia tercampak, karena I Gusti Ngurah Bagus, suaminya, kawin lagi dengan istrinya yang keempat. Sejak itu I Seruni yang ganti nama menjadi Mekel Mirah karena naik kasta, seperti orang gila.”(11)
Terdapat pandangan bahwa hidup dan mati adalah sebuah kewajiban. Pemikiran atas sebuah konsep pernikahan masih terbilang sederhana. Segala sesuatu yang diberikan Tuhan diterima sebagai sebuah anugerah dan dijalankan sebagai kewajiban.
“Mangku Puseh melihat pernikahan sebagai urusan praktis memproduksi anak. Semacam kewajiba hidup. Cinta baginya dating belakangan karena ditumbuhkan. Ia kawin dengan istrinya, ibu Putri, karena dijodohkan oleh orangtuanya. Kedua-duanya tidak berbekal cinta dari awal. Hanya bedanya, Men Putri merasakan ketidakberdayaan menolak kehendak orangtuanya, sedangkan Mangku Puseh sama sekali tanpa beban.” (19)
Hal tersebut diperkuat oleh kutipan berikut.
“Jadi Ratu Aji menyumbang pembangunan Pura Puseh karena ada maksud lain!”
Mangku tak menjawab. Ia memandangi Putri seperti memohon. Tetapi Putri tak terjamah.
“Bapa sampai hati menyerahkan saya untuk menjadi istri ketiga Ratu Aji, hanya demi pembangunan pura?”
“Demi masa depanmu sendiri, Putri!”(17)
Kewajiban dijalankan dengan penuh pengorbanan bukan semata-mata karena jabatan yang diembannya, melainkan untuk menjalankan fungsi dalam masyarakat.
“Mangku merasa hatinya tidak tenang. Ia langsng berdoa. Tidak khusus untuk Putri. Ia berharap semesta alam tetap dalam harmoni dalam bekerja samadengan manusia membangun kehidupan. Mangku selalu melarikan persoalan keluarganya ke dimensi yang lebih lebar, agar tak bertentangan dengan tugasnya sebagai jembatan batin seluruh penduduk. Karena itulah ia termasuk disegani warga. Bukan karena jabatannya, melainkan karena ia melaksanakan fungsinya dengan penuh pengorbanan. (15)
Suatu hari Putri mengetahui Nyoman telah hamil.
“Nyoman Rukni dilarikan orang.” (250)
Terdapat suatu tradisi bahwa wanita yang hamil sebelum menikah adalah suatu aib. Jalan terbaik yang ditempuh adalah dengan mengasingkannya untuk dinikahi tanpa kehadiran keluarga dari pihak perempuan sebagai bentuk tanggungjawab.
Pernikahan Nyoman dan Made Sukada dilangsungkan di Banyuning, Buleleng. Keluarga mangku Puseh tidak hadir. Putri bersikeras mau datang, dilarang oleh bapaknya. (251)
2.2 Sejarah
Sejarah menggambarkan sejarah kehidupan Putri dan Wikan. Tokoh Putri merupakan tokoh utama yang mempengaruhi jalannya cerita. Sedangkan Wikan merupakan tokoh pendamping.
2.2.1 Pandangan Putri Terhadap Tradisi Baru
Penjabaran tradisi baru karya Putri :
“TRADISI baru adalah upaya untuk melihat segala sesuatu dari posisi yang sama, memulai sesuatu dari titik yang sama, tetapi dengan acuan terbalik, sehingga tradisi tidak lagi menjadi ancaman teteapi pembebasan. “ (307).
Jika dilihat dari kajian Antropologi, maka novel Putri karya Putu Wijaya sangat kental dengan penggambaran budaya Bali, hal ini bisa terlihat dari kebiasan-kebiasaan yang keluarga Putri lakukan serta masyarakat Bali, warga Meliling khususnya.
Tokoh-tokohnya mengalami future shock di dalam budayanya sendiri maupun culture shock dalam pergaulan dengan budaya masyarakat lain menitikberatkan persoalan dalam novel Putri sebagai persoalan budaya secara umum, bukan hanya khas Bali. Dalam novel ini, Putu Wijaya melalui tokoh Putri mencoba menentang adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan kepercayaan yang terjadi secara turun-temurun. Dia mencoba memperkenalkan sebuah kehidupan yang mengikuti zaman.
“Putri sebenarnya tak melakukan hal-hal yang radikal. Dia hanya mencoba mengajak semua orang untuk berfikir prakstis. Melihat kenyataan sebagai realita konkret. Meninggalkan segala takhayul dan tabu-tau yang tak penting. Terutma sekali mengerem kebiasaan hidup sehari hari yang lebih merupakan rentetan upacara yang tak putus-putusnya.”(4)
“Saya saja berani, masak yang laki-laki tidak,” kata putri. “Sejarah kita baru ditulis, dan yang menulisnya adalah kita sendiri. Sama sekali bukan sudah dituliskan oranglain.(4)
“Saya tidak mau tinggal di Puri. Saya mau jadi Guru” (17)
“Kalau kemuliaan itu dilakukan karena memilih, itu benar kemuliaan, Tetapi kalau terpaksa, apa bukan dosa Bapa?”(43)
Pemberontakan yang dilakukan Putri sebenarnya bukan karena keinginan dalam dari dirinya, namun lebih kepada ketidakberayaan terhadap tuntunan zaman.
“NI LUH PUTU PUTRI muncul di upacara wisuda tidak memakai pakaian nasional, seperti janjinya kepada rekan-rekannya yang lain. Ia juga tidak mengenakan pakaian adat, seperti yang diusulkan oleh bapaknya.”
“Bukan karena saya ingin kelihatan lain,” kata Putri menolak tuduhan yang terpancar dari mata kawan-kawanya.”Juga bukan karena saya mau berontak. Saya terpaksa.” (7)
Pemberontakan Putri juga menyinggung masalah jender. Dia mencoba membuat persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Perempuan dalam pandangannya, mendapat perlakuan yang tidak sama dengan laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Hanya karena tidak ada lelaki yang mau mengakui, Nyoman diserahkan kepada penderitaan seumur hidup, itu tidak adil,”kata Putri. “Perempuan bukan anak buangan. Mengapa lelaki boleh menghamili orang seenaknya dan boleh tidak mau mengaku. Malahan dianggap jantan. Mengapa lelaki boleh kawin dua tiga kali, punya istri banyak? Tidak disela tapi malah dipuji sebagai orang kuat? Mengapa lelaki sampai sudah brengsek pun masih diakui anak, dibenar-benarkan lagi, sedangkan perempuan kalau cacat sedikit saja sudah dianggap carikan. Dicampakkan dengan kejam. Kenapa hanya perempuan diusut keperawanannya, lelaki tidak? Ini semua harus diberantas!”(237)
Kutipan di atas menerangkan bahwa jika seorang perempuan melakukan kesalahan maka mendapat stigma negatif dalam masyarakat. Lain halnya dengan laki-laki, seorang laki-laki memiliki hak untuk memilih, mengatur, bahkan mencampakkan perempuan. Laki-laki diberi kebebasan untuk menikah lebih dari satu kali.
Selain rasa pemberontakan dalam diri Putri, terdapat juga rasa panut terhadap suatu keadaan yang sudah mengakar dalam diri Putri yang mengingatkannya saat menjadi penyeroan di Puri. Rasa panut untuk diam, mendengar, dan menyimak. Pemikiran dimana diam itu lebih baik.
Putri terpojok di mobil Palakarma, dalam perjalanan ke airport Ngurah Rai. Ia menjadi keranjang sampah. Sama sekali tak diberi kesempatan untuk berbicara. Hanya mendengar dan menyimak. (197)
Putri tak ingin membantah. Ia tidak ingin apa-apa, kecuali mendengar. Lelaki itu tidak benar-benar memerlukannya. (198)
Putri memeluk keduanya. Ia sudah terbiasa mengungkapkan perasaan-perasaannya dengan bahasa tubuh, tidak seperti umumnya penduduk desa. Itu sebagian dari yang dibawanya dari hidup selama 5 tahhun di rumah indekosan di Denpasar. Bahasa baru yang sering menjadi bahan ejekan tetangga, khususnya saudara-saudara iparnya. Putri dianggap sok kota.”(20)
2.2.2 Bagaimana adat kebiasaan keluarga Putri menerapkan sebuah tradisi
Kesetiaan dan pengorbanan terhadap keluarga masih dijunjung tinggi dalam novel ini. Terlihat pada kutipan berikut.
“PUTRI sampai di rumah larut malam. Anggota keluarga yang menunggu semua sudah tidur. Mereka bergeletakan di lantai. Termasuk neneknya. Orang tua itu seperti tak mau ketinggalan selangkah pun dari perjalanan cucunya. Bahkan dalam tidur ia terus mengawasi.
Dia yang paling ngotot tidak mau makan, sebelum kamu pulang,” kata Men Putri, ibu putri yang tadi membukakan pintu gerbang.
“Jadi nenek belum makan?”
“Belum.”
“Kasihan. Saya belikan roti kembung.”
Putri memasukkan makanan lembut kesukaan orang tua itu ke dalam toples. Ketika ia menoleh, ibunya sudah pergi ke dapur hendak memasak air. Putri hampir saja mau melarang, tetapi kemudian ia tak sampai hati. Iu merupakan kebanggaan seorang ibu.”(3)
Sebagai bentuk kesetiaan, anggota keluarga Putri menunggunya walau sampai terkantuk.
“SUDAH hampir pukul sepuluh malam. Jalanan di desa Meliling sudah sunyi. Hanya sekali-sekali meluncur kendaraan dari arah Gilimanuk menuju Denpasar. Sorot lampunya menyapu sekelompok orang yang bergerombol dipertigaan menunggu Putri. Mereka yang sejak sore tampak begitu bersemangat itu, kini sudah lemas.
Nenek Putri yang berusia 90 tahun tertidur di atas jalan aspal, bersandar ke dinding pertigaan. Nyoman Rukni, adik Putri yang paling kecil, baru kelas 3 SMP, berbaring di pangkuannya. Kakaknya, Made Lantera, kelas 2 SLUA, duduk menyandarkan punggungnya ke patung raksasa penjaga pertigaan. Ia juga sudah mengantuk. Tetapi setiap kali ada cahaya kendaraan mengelip dari arah Tabanan, ia meloncat bangun menyongsong.” (14)
Terdapat sebuah ketidakberdayaan dan rasa manut ketika Putri disuguhkan sepiring nasi oleh ibunya. Dengan melanggar program dietnya dan rasa kantuk yang melanda dirinya, dia melahap nasi tersebut sebagai bentuk penghargaan terhadap ibunya yang telah memasak dan menyediakan untuknya.
Ibu Putri kembali dari dapur, meletakkan sepiring nasi dan lauk pauk tambusan yang dibungkus daun pisang.
“meme buat sambel bongkot kesenanganmu Luh,” kata Men Putri. “Makan dulu nanti kamu sakit lagi.”
Putri tak membantah, meskipun sudah hamper pukul dua malam. Dalam pelajaran diet kesehatan yang diikutinya, ada larangan makan sesudah larut malam. Jero Mangku, bapak Putri, juga sering mengingatkan bahwa perut itu bukan kuburan untuk membuang sampah. Perut adalah tempat yang suci, karena merupakan rongga yang menyimpan tenaga untuk membuat hati nurani tenang.
Putri membasuh tangan dan kemudian mulai makan. Ibunya duduk di depannya memandangi, seperti menghitung berapa suap akan ditelan putri. Putri diam-diam mencuri melihat beberapa garis muka ibunya semakin dalam. Rambut putihnya juga sudah bertambah. Bagaimana tidak. Wanita inilah yang sudah membanting tulang untuknya. Bapaknya tak banyak bisa diharapkan. Mangku itu terlalu sibuk melayani upacara untuk kepentingan desa.(5-6)
Rasa manut juga tergambar dalam kutipan berikut.
“Sudah bawa saja dulu nenek pulang. Biar Bapa yang jaga di sini,” kata Mangku setelah kembali dari Pura.
Latera tidak berani membantah, meskipun ia masih kepingin menjadi orang pertama yang melihat kedatangan Putri. Kakaknya itu sudah berjanji akan membelikan dia sepatu baru, kalau lulus. Pagi tadi, ketika Putri buru-buru berangkat, ia ikut repot menitipkan catatan ukuran kakinya, sampai ibunya marah. Sekarang iam-diam ia merasa bersalah, takut kalau Putri terlambat pulang gara-gara mencarikan sepatu.
Nenek masih membantah ketika dibangunkan. Dia juga ingin menunjukkan kegembiraanya kepada putri. Tetapi ketika Mangku bukan lagi meminta tetapi menyuruh, orang tua itu tepaksa bangun dan pulang sambil menggerundel.” (15)
2.2.3 Pandangan Wikan terhadap sebuah tradisi
Dia sudah tinggal di Amerika, gayanya sudah lebih Amerika dari orang Amerika. tapi kalau memutuskan apa-apa dia tiak mampu seperti orang Amerika. Dia selalu ragu-ragu. Saya kira kita harus membantu”(323)
BAB III
KESIMPULAN
Analisis antropologi sastra mengungkap berbagai hal seperti kebiasaan masa lampau, akar tradisi, percaya terhadap mitos-mitos seperti percaya terhadap leak, balean, percaya terhadap mantra-mantra. Dengan demikan, disinilah peranan antropologi sastra sebagai acuan kami dalam pemaparan novel Putri. Dalam novel Putri, Putu Wijaya menggambarkan tradisi dan kepercayaan masyarakat Bali, Sebagai suatu aturan yang dipertanyakan, baik itu berupa mitos, religi, bahasa, adat istiadat.
Putri sebagai tokoh perempuan memilih identitas di tengah dominasi patriarki dalam ruang tradisi dan modernitas.
DAFTAR PUSTAKA
Putu, Wijaya. 2004. Putri. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Endarswara, Suwandi. 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Caps (Cebtral for Academic Publishing Service).
www. Wikipedia.com Aliran Etnografis Sastra. Diakses tanggal 4 Oktober 2011.
LAMPIRAN
PROFIL PENULIS NOVEL
Putu Wijaya adalah sastrawan Indonesia yang produktif menghasilkan karya sastra, ragam karyanya berupa cerpen, novel, drama, maupun skenario film. Produktivitasnya sebagai sastrawan tersebut diimbangi pula dengan kualitas karya yang dihasilkan.
Putu Wijaya adalah salah seorang pengarang yang menulis novel dengan cara baru, yaitu dengan bentuk yang nonkonvensional. Selain menulis karya sastra nonkonvensional, Putu Wijaya pun menulis karya sastra yang beralur konvensional. Dalam hal sastra yang beralur konvensional, sebagai sastrawan kelahiran Bali, Putu Wijaya sering mempertanyakan sistem kebudayaan di Bali.
Novel-novel Putu Wijaya antara lain adalah Telegram (1972), Bila Malam Bertambah Malam (1971), Pabrik (1976), Stasiun (1977), MS (1977), Tak Cukup Sedih (1977), Ratu (1977), Sah (1977), Keok (1978), Sobat (1981), Lho (1982), Nyali (1983), dan Pol (1987). Drama-dramanya antara lain Lautan Bernyanyi (1967), Anu (1974), Aduh (1975), Dag Dig Dug (1976), dan Gerr (1986). Adapun kumpulan cerpennya antara lain Bom (1978), Es (1980), dan Gres (1982). Putu Wijaya juga menulis skenario sekaligus menyutradarai tiga film layar lebar yaitu Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Di tahun 1980, ia memperoleh penghargaan SEA Write Award dari Ratu Sirikit, Thailand. Putu Wijaya juga memperoleh Anugerah Seni pada tahun 1991 dari Pemerintah Indonesia.
SINOPSIS NOVEL PUTRI
Putri adalah Nama tokoh utama dalam novel Putri dengan nama lengkap I Luh Putu Putri. Putri adalah anak seorang Mangku Puseh yang berstatus sebagai satu-satunya sarjana wanita di Meliling. Putri dalam novel ini membuat skripsi yang berjudul “TRADISI BARU” yang menggambarkan sebuah tradisi sebagai suatu yang tidak mengikat.
Dalam novel Putri banyak dijabarkan mengenai tradisi, adat istiadat yang masih berlaku di Bali ditengah arus modernisasi, sebuah tradisi yang dianggap tabu olah masyarakat modern saat ini, sehingga Putu Wijaya banyak mempertanyakan tradisi dalam setiap novelnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar